SEKINCAU (Lampungpro.co): Praktik jual beli lahan secara ilegal di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Kabupaten Lampung Barat terus berlangsung secara terselubung. Di balik kebun-kebun kopi yang menjamur hingga ke jantung kawasan konservasi, tersimpan aktivitas perambahan sistematis yang melibatkan lebih dari sekadar petani kecil.
Dari penelusuran Lampungpro.co di Kecamatan Sekincau dan Suoh, sejumlah petani mengaku membeli lahan di kawasan TNBBS melalui perantara dengan harga antara Rp3 juta hingga Rp10 juta per hektare, tergantung akses dan tingkat kemiringan lahan. Transaksi berlangsung tanpa sertifikat, hanya berbekal kwitansi dan saksi masyarakat adat atau tokoh informal.
“Biasanya ada orang dalam kampung yang jadi penghubung. Kalau cocok, tinggal bikin surat pernyataan bermaterai, nanti bisa mulai buka lahan,” ujar seorang warga Suoh yang enggan disebutkan namanya.
Data Balai Besar TNBBS mencatat, hingga akhir 2024, lebih dari 28.000 hektare kawasan hutan TNBBS di wilayah Lampung telah dirambah, dengan sekitar 21.000 hektare di antaranya ditanami kopi. Di wilayah Lampung Barat saja, diperkirakan terdapat lebih dari 13.000 perambah, tersebar di zona perbatasan Sekincau, Suoh, Bandar Negeri Suoh, dan Way Tenong.
Perubahan besar-besaran ini mulai terjadi sejak 2004–2005, ketika harga kopi robusta global melonjak, mendorong banyak pendatang masuk ke kawasan TNBBS untuk membuka lahan baru. Lonjakan harga kopi lokal pada periode 2021–2023 yang menembus Rp30.000 per kilogram juga mendorong gelombang baru transaksi gelap lahan di hutan konservasi.
“Dulu harga kopi cuma Rp15 ribu, sekarang bisa lima kali lipat. Jadi banyak orang tergiur beli lahan meski tahu itu kawasan taman nasional,” kata seorang pengepul kopi di Sekincau.
Jaringan Transaksi Ilegal Melibatkan Oknum
Praktik ini diyakini bukan sekadar inisiatif individu. Informasi dari lapangan menyebutkan adanya keterlibatan oknum aparat desa, tokoh adat, dan calo lahan yang memberi legitimasi sosial atas kepemilikan ilegal tersebut. Bahkan beberapa pemilik kebun berasal dari luar daerah, termasuk bandar kopi dan investor kecil-kecilan.
Balai Besar TNBBS telah berulang kali melakukan operasi pengawasan dan penertiban. Namun luasnya kawasan yang mencapai 356.000 hektare, terbatasnya personel, serta tekanan sosial dari masyarakat sekitar membuat pengendalian tidak maksimal.
“Kalau hanya menyasar petani, tidak akan selesai. Harus dibongkar jaringannya, mulai dari calo lahan sampai pihak yang menampung hasil panennya,” kata seorang pegiat lingkungan di Liwa.
Citra satelit dari tahun 2000 hingga 2024 menunjukkan penurunan signifikan tutupan hutan primer di wilayah Lampung Barat bagian barat daya. Kawasan Suoh dan Sekincau yang sebelumnya menjadi koridor alami gajah dan harimau Sumatera, kini berubah menjadi petak-petak kebun kopi.
Kondisi ini mengancam ekosistem kritis yang menjadi rumah satwa langka seperti harimau sumatera, gajah sumatera, dan badak sumatera. Jika tidak ada tindakan tegas, kawasan TNBBS akan kehilangan fungsinya sebagai benteng konservasi terakhir di selatan Sumatera. (***)
Editor: Amiruddin Sormin
Laporan: Tim Investigasi Lampungpro.co
#Berikan Komentar
Kawan, jangan lupakan jalan pulang: jalan rakyat yang dulu...
404
Lampung Selatan
305
Lampung Selatan
351
Lampung Selatan
364
404
25-Jun-2025
211
25-Jun-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia