JAKARTA (Lampungpro.com): Sistem pemilu termasuk pemilihan kepala daerah dinilai perlu dievaluasi. "Sebaiknya sistem sekarang dibanding yang dulu, itu tentu banyak perdebatan dan diskusi panjang. Tapi sebaiknya memang selalu terus dilakukan evaluasi," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Ade Komarudin usai diskusi memperingati Hari Lahir Pancasila, di Mendawai 13, Jakarta, Kamis (1/6/2017).
Diskusi itu mengambil tema "Pancasila Pasca-Reformasi; siapa yang paling bertanggung jawab." Diskusi dilanjutkan dengan buka puasa dan taraweh bersama menghadirkan juga pembicara Fachri Ali.�Ade Komarudin mengatakan saat ini sistem pilkada menghasilkan masalah yaitu banyak kepala daerah terjerat kasus karena biaya politik yang begitu besar. "Kita semua tahu bahwa ada 285 kasus korupsi, 2,8 persennya melibatkan gubernur dan 10,2 persen melibatkan wali kota atau bupati menjadi tersangka dan ini memprihatinkan," kata dia.
Akom-panggilan akrab Ade Komarudin-juga menilai ini semua karena sistem politik dan kepemiluan di Indonesia terkena dampak liberalisme. Untuk itu, kata Akom, pemilu atau pilkada tidak boleh sampai mengganggu keutuhan persatuan dan kesatuan Indonesia. "Ini dampak dari sistem liberalisme politik. Jangan hanya karena pilkada kita hampir terkoyak sebagai bangsa besar," kata dia.
Saat ditanya, apakah itu artinya pilkada di Indonesia sudah lari dari nilai-nilai Pancasila, Akom mengatakan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan komitmen memperbaiki sistem yang sudah ada. "Tak usah berganti-ganti atau malah mundur ke belakang, diperbaiki saja. Jalan keluarnya perlu kita pikirkan negeri ini sudah selesai tapi nyaris terkoyak hanya karena pilkada. Apakah mau seperti masa lalu ? Kan tidak juga," jelasnya.
Mengenai calon dalam pilkada, ia mengatakan perlu fit and proper dan dilihat dari dukungan rakyatnya. "Kriterianya harus ditentukan visi, akhlak dan lainnya oleh DPRD. Tapi jangan sampai begitu partai pusat sampai daerah memberikan dukungan untuk lawan kotak kosong. Sebenarnya tidak apa lawan kotak kosong asalkan tidak direkayasa," kata ketua Dewan Penasehat Pusat Studi Hukum dan Pembangunan (PSHP) ini.
Sayangnya tambahnya sekarang banyak orang disulap dari buruk menjadi baik, sehingga ketika memimpin masyarakat sengsara dibuatnya. "Banyak kepala daerah disulap, terpiih secara popularitas karena permakan konsultan politik, kita tidak bisa dibiarkan terus begitu, harus dievaluasi," harapnya.
Sementara, di tempat yang sama, secara tegas mantan Wakil Ketua MPR Hajrianto Tohari menyebutkan sistem politik, pilkada, pileg, dan pilpres sekarang tidak sejalan dengan Pancasila. "Kalau dari perspektif sistem yang diintrodusir Pancasila adalah musyawarah mufakat, artinya sistem politik atau pillkada sekarang termasuk liberal, tidak paralel dengan musyawarah mufakat," katan dia.
Menurutnya, pilkada, pileg dan pilpres sekarang condong ke individualisme dan tidak sejalan dengan semangat Pancasila. "Sistem one man one vote itu kan individualisme tidak paralel dengan musyawarah mufakat. Karena individual maka mempermudah masuknya campur tangan pemodal, memang sekarang tidak bisa dihindari karena sistem saat ini personal," jelasnya.
Pengamat politik Fachry Ali menyebutkan membangun parpol adalah sesuatu yang paling berat. Apalagi saat ini semua didasari pembiayaan partai, sehingga ideologi juga kadang terabaikan. "Partai sekarang berat menjalankan kegiatan, karena berbiaya besar," kata dia. (*/ANT/PRO2)
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4148
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia