JAKARTA (Lampungpro.com): Pendekatan hukum positif Republik Indonesia yang diupayakan Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI dalam menelaah permasalahan Grondkaart PT Kereta Api Indonesia (KAI) merupakan aspek legal formal dari kehadiran perundang-undangan dan peraturan turunannya. Bukan pendekatan sejarah, apalagi dengan embel-embel peristiwa zaman Belanda sebelum merdeka.
Hal itu diungkapkan Anggota DPD RI, Andi Surya, menyikapi persoalan lahan bantaran rel kereta api (KA) yang menjadi tuntutan warga untuk disertifikasi. Pendekatan sejarah penjajahan Belanda menjadi tidak kontekstual ketika dihadapkan oleh alam kemerdekaan RI yang di dalamnya negara memproses norma perundang-undangan sebagai aturan yang melekat dalam segala aspek kehidupan.
"Termasuk fakta Grondkaart adalah dokumen daluwarsa Belanda yang tidak pernah tersebutkan dalam sistem hukum agraria kita. Apalagi ketika Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 diterbitkan, dengan jelas memerintahkan segenap hak-hak barat harus dikonversi. Namun ternyata tidak dilakukan oleh PT KAI yang dahulu bernama Djawatan Kereta Api (DKA)," kata Andi Surya, Kamis (22/11/2018).
Andi membeberkan sejumlah fakta ketika Dr. Kurnia Warman, Dosen Ahli Hukum Agraria Universitas Andalas, dalam pernyataan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Padang terkait sengketa tanah antara PT KAI dengan Basko Gropu Padang. Dia mengatakan sejak 24 September 1980, tepat setelah 20 tahun UUPA diterbitkan, seluruh tanah eigendomverponding berstatus sebagai tanah negara.
Pihak-pihak yang menempati atau menggarap tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu diprioritaskan untuk mendapatkan hak atas tanah yang ditempati itu. Pribumi yang menempati tanah itu tinggal mengajukan permohonan hak kepada pejabat berwenang.
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ny. Arie S. Hutagalung SH, MLI, dalam Fokus Grup Diskusi yang diselenggarakan Badan Akuntabilitas Publik DPD RI pada Maret 2018, di ruang rapat BAP DPD RI Senayan, dengan tegas menyatakan Grondkaart yang menjadi pegangan PT KAI dalam mengklaim asset lahannya bukan merupakan alas hak.
Atas dasar pendapat kedua ahli ini, Andi Surya menyatakan secara legal formal hukum dan perundang-undangan RI, wilayah peta Grondkaart bantaran rel KA menjadi lahan negara bebas yang bukan milik siapa-siapa tetapi diduduki warga. Hal ini juga disebutkan oleh UU Perkeretaapian No. 23/2007 yang diperkuat PP no. 56/2009 dengan tegas mengatur, ruang milik keretaapi adalah enam meter kiri dan kanan rel, tidak lebih dari itu.
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan Aparat Penegak Hukum agar tidak lagi melihat Grondkaart sebagai sejarah Belanda yang menunjukkan kepemilikan PT KAI yang dalu bernama Staatspoorwegen (SS). "Namun sesuai amanat undang-undang menjadi lahan negara bebas yang bisa dimiliki siapa saja termasuk warga masyarakat yang menempati lebih dari 20 tahun diprioritaskan mendapat kemudahan sertifikasi lahan sesuai amanat UUPA 5/1960," kata Andi Surya yang juga Ketua Yayasan Mitra Indonesia itu. (PRO1)
Berikan Komentar
Saya yakin kekalahan Arinal bersama 10 bupati/walikota di Lampung...
1526
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia