PALEMBANG (Lampungpro.co): Maraknya perburuan satwa liar yang menjadi mangsa alami harimau Sumatera ditengarai menjadi salah satu penyebab banyaknya manusia yang menjadi korban raja hutan tersebut dalam waktu satu bulan ke belakang di Sumatera Selatan. Rusaknya habitat serta semakin luasnya perambahan di dalam hutan lindung menjadi penyebab-penyebab lain yang membuat harimau semakin terdesak di habitatnya sendiri.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan Martialis Puspito mengatakan, saat ini populasi satwa liar yang berada di kawasan hutan lindung di Kesatuan Pengelola Hutan (KHP) Dempo dan Kikim Pasemah semakin berkurang. Diketahui, KPH Dempo dan Kikim Pasemah membentang dari Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, serta Muara Enim. Dua KPH tersebut menjadi lokasi konflik harimau dengan manusia belakangan ini.
Meski tidak memiliki data jumlah pengurangan populasi tersebut, pria yang akrab disapa Ito ini mengungkapkan, pihaknya menemukan sejumlah bukti maraknya perburuan satwa liar di dua kawasan tersebut. "Pada 2016, kita menemukan tujuh offset kepala kambing hutan yang sudah diawetkan di Desa Rimba Candi. Di Pagar Alam setiap minggu ada perburuan babi hutan. Itu yang kita temukan, yang tidak ketahuannya banyak," ujar Ito, Sabtu (14/12/2010).
Satwa liar yang menjadi mangsa harimau di kawasan tersebut saat ini, kata Ito, adalah babi hutan, kambing hutan, kijang, dan rusa. Seluruh satwa tersebut menjadi sasaran perburuan manusia. Akibatnya, rantai makanan dengan harimau Sumatera sebagai puncak pemangsa terganggu. Ekosistem di dalam habitat tersebut pun terganggu.
Selain perburuan, perambahan liar yang dilakukan masyarakat pun membuat harimau semakin terdesak. Kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai habitat satwa liar, berubah menjadi perkebunan dengan segala perusakan yang dilakukan oleh manusia.
"Daya jelajah harimau sehari bisa 20 kilometer, itu dalam kondisi normal. Kalau mencari mangsa susah, dia disorientasi. Terdesak dan habitatnya terhimpit hingga akhirnya bisa 40 kilometer per hari demi mencari makan. Makanya resiko perjumpaan dengan manusianya jadi lebih tinggi. Orang ini sudah dikasih nasi, masih memburu makanan makhluk lain," kata dia.
Selain itu, pihaknya pun belum bisa mengidentifikasi apakah individu harimau tersebut mengalami cedera psikologis atau tidak. Dirinya berujar, bisa jadi harimau tersebut pernah memiliki sejarah terkena jerat atau terluka sehingga perangainya menjadi lebih agresif. "Kita pasang kamera trap di lokasi jatuh korban tewas pertama di Desa Pulau Panas, Lahat itu, belum ada hasilnya. Kamera tidak menangkap penampakan harimau. Yang di Dempo juga belum ada hasil," ujar Ito.
Pihaknya pun telah memberikan saran kepada Pemerintah Kota Pagar Alam untuk mengevaluasi tata kelola kawasan wisata di sekitar KPH Dempo. Saat ini, banyak objek wisata yang berada di dalam kawasan hutan yang merupakan habitat harimau. Seperti Tugu Rimau, jalur evakuasi di Gunung Dempo yang banyak dijadikan sebagai jalur pendakian, di mana banyak bangunan semipermanen yang dimanfaatkan sebagai warung. Peringatan bahwa kawasan tersebut merupakan koridor jelajah harimau pun tidak dihiraukan oleh masyarakat.
"Bahkan ada ayunan dan spot selfie di Tugu Rimau itu. Kawasan vila, masih jauh di luar jadi resiko perjumpaannya kecil. Di Kampung 4 yang merupakan pintu pendakian Gunung Dempo, ada jejak juga di situ. Meraung-raung dia kemarin di situ. Tapi individu harimau yang di situ tidak terlalu agresif," tambah Ito.(**/PRO2)
Berikan Komentar
Pemkot Bandar Lampung tak perlu cari TPA baru sebagai...
341
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia