JAKARTA (Lampungpro.co): Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), di wilayah Kalimantan dan Sumatera merupakan kejahatan lingkungan yang dilakukan pemerintah. "Saya menegaskan kita tidak bisa memandang persoalan ini sebagai persoalan biasa saja atau berulang. Ini adalah persoalan luar biasa. Ini adalah kejahatan Ekosida, ini kejahatan lingkungan," ujar Yati Andriani perwakilan KontraS, di Kantor Eksekutif Walhi Nasional, Jakarta Selatan, Senin (16/9/2019).
KontraS merupakan salah satu organisasi masyarakat sipil yang memberikan pernyataan dalam bentuk surat terbuka kepada Presiden Joko Widono atau Jokowi untuk segera menyelesaikan masalah karhutla. Seperti diketahui bahwa karhutla tersebut membuat kabut asap. Misalnya, di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada Minggu, (15/9/2019) kondisinya semakin pekat. Jarak pandang sejak pagi hari hingga pukul 17.00 WIB hanya berkisar 300-600 meter.
Yati menjelaskan, bahwa karhutla merupakan peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu yang cukup panjang, mulai dari 1997. "Ini bukan keberulangan, tapi ini adalah masalah yang tidak terselesaikan sejak lama. Masalah ini berdampak luar biasa terhadap ekosistem kita, tidak hanya hutan dan petani tapi terhadap manusia. Yang menjadi korban juga masyarakat sipil," jelas dia.
Sementara di Pekanbaru, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru kembali memperpanjang libur sekolah selama dua hari ke depan pada Senin dan Selasa, 16-17 September 2019, karena masih pekatnya kabut asap di kota itu. "Selain itu, begitu banyak hal yang terampas, hak mendapatkan udara bersih, hak untuk hidup, hak kesehatan, hak pemulihan dan bergerak secara bebas. Bahkan akses pendidikan karena sekolah yang diliburkan,"
Menurut Yati, karhutla berdampak pada begitu banyak teritori, sampai di Singapura dan Malaysia. "Ini kejahatan ekosida," Yati kembali mempertegas. "Kenapa terus terjadi, ini karena politik impunitas, kekebalan hukum terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan." Selain pidana terkait ganti rugi uang, Yati menambahkan, yang sering kali direduksi menjadi bantuan-bantuan, kasus tersebut juga memiliki mekanisme pidana yang tidak jelas. "Kalau negara ini tidak hadir dan mengelak, tapi kami bisa saja akan melaporkan PBB," ujar Yati.
Sementara dari Eksekutif Walhi Nasional Halisa Halid menjelaskan bahwa dirinya merasa campur aduk atas peristiwa karhutla yang terjadi. Dia mendapatkan kabar bahwa peristiwa itu sudah memakan korban yaitu bayi yang berusia empat bulan meninggal. "Kita sedih, marah, kecewa dan campur aduk dengan situasi ini. Ini menunjukkan situasi darurat, korban yang merasakan paling banyak kelompok rentan, yaitu bayi atau balita, anak-anak, lansia yang mengalami resiko lebih besar dan itu sudah kita kami ingatkan," kata Halisa.
Halisa melihat pejabat publik berupaya mengingkari dan mencoba mencari kambing hitam dari kegagalan negara menarik pelaku dari kebakaran hutan dan lahan. "Temuan kami, titik api itu sebagian besar di konsesi, tapi yang dikambinghitamkan adalah masyarakat adat dan peladang. Ini membuat stigma negatif kepada masyarakat adat," terang Halisa.(**/PRO2)
Berikan Komentar
Dukungan dan legacy yang besar, juga mengandung makna tanggung...
23337
Bandar Lampung
5214
303
18-Apr-2025
365
18-Apr-2025
1622
18-Apr-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia