TANJUNGPINANG (Lampungpro.com): Arbiter BANI dari Lampung, Dr. V. Saptarini, mengatakan penanganan kasus pencemaran lingkungan laut akibat tumpahan minyak di Selat Malaka, khususnya Kepulauan Riau (Kepri), perlu dukungan bersama. Pasalnya, setiap musim utara mulai September-Maret selat ini terpapar tumpahan minyak.
Menurut Saptarini selain melalui gugatan pengadilan, pengajuan ganti rugi juga bisa dilakukan melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi dan mediasi. Selain itu, untuk masalah ganti rugi juga dimungkinkan melalui mekanisme arbitrase.
"Selain itu, membangun kepedulian terhadap lingkungan semestinya juga dilakukan oleh perusahaan yang terkait bidang pelayaran, pariwisata, dan perusahaan yang memanfaatkan laut beserta hasilnya dalam proses produksi melalui program CSR," kata Saptarini yang juga anggota Dewan Pengurus Nasional Ikatan Praktisi Keberlanjutan Bersertifikat (IPKB) itu, di Tanjungpinang, pada rapat koordinasi di Provinsi Kepri yang dihadiri Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota se-Kepri, Selasa (9/10/2018).
Pada rapat tersebut, Saptarini yang juga Kepala Pusat Studi CSR Universitas Bandar Lampung (UBL) itu membawakan materi bertema 'Tatacara Pengajuan Gugatan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk dampak kerusakan lingkungan'. Rakor ini merupakan tindak lanjut rapat 'The National Workshop on IMO Civil Liability and Compensation Conventions" bekerjasama Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dengan International Maritime Organization (IMO) di Denpasar Bali, pada 18-21 September 2018.
"Pemerintah Kepri tidak bisa menangani masalah tumpahan minya ini sendiri. Ratusan kapal melintas di Selat Malaka. Tumpahan minyak merusak terumbu karang dan biota laut. Banyak yang tidak ketahuan siapa yang membuang dan dari mana sumbernya," kata Saptarini.
Rakor ini digelar Kemenko Bidang Kemaritiman untuk mengecek kesiapan pemda dan ormas dalam menggugat perusakan lingkungan di wilayah laut dan pesisir di Kepri sesuai Standard Operational Procedure (SOP) yang disepakati tiga negara yakni Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Secara teknis, menurut Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim, Basilio Diaz Araujo, rakor ini juga untuk menyiapkan pemda dan masyarakat Kepri mengajukan klaim ganti rugi atas kerusakan lingkungan dan sosioal ekonomi di Selat Malaka akibat tumpahan minyak dari kapal.
"Kita pilih Kepri sebagai lokasi rakor karena wilayah ini merupakan daerah yang secara terus menerus yang terpapar pencemaran lingkungan laut akibat dari tumpahan minyak di Selat Malaka," ujar Basilio.
Hal serupa, lanjut Basilio, terjadi untuk kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor pada 2009. Sampai kini, masalah itu belum selesai dan masyarakat dibiarkan sendiri membawa kasusnya ke Pengadilan Federal Australia.
Sebagai contoh kasus Kapal MV Alyarmouk berbendera Libya yang ditabrak kapal MV Sinar Kapuas berbendera Singapura pada 2 Januari 2015 di perairan Singapura dekat Pedra Branca. Kemudian mengakibatkan tumpahan minyak sampai pada pesisir wilayah Batam dan Bintan. "Namun sampai hari ini kasus ini belum diselesaikan dan masyarakat dibiarkan sendiri membawa kasus ini ke pengadilan di Singapura," kata Basilio. (PRO1)
Berikan Komentar
Pemkot Bandar Lampung tak perlu cari TPA baru sebagai...
387
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia