Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 27 Juni 2018 yang juga berlangsung di Provinsi Lampung, masih mempertontonkan kepada masyarakat pemilik modal adalah penentu kemenangan. Masyarakat masih diajarkan pemilihan adalah bagi-bagi uang. Entah pemilihan lurah, bupati, gubernur, dan presiden.

Mirip pameo zaman old, ada uang abang disayang. Kesepakatan yang diteken para calon sebelum bertarung untuk tidak menggunakan politik uang, dianggap hanya untuk memenuhi syarat. Bahkan aturan hanya boleh memberi sesuatu tak lebih dari Rp25 ribu, hanya macan kertas.

Inilah mengapa sampai hari ini saya hanya memahami praktek politik dalam pilkada itu hanya cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Politik itu masih ada di bangku kuliah dan di buku-buku. Hanya kenangan masa lalu dari para pendiri bangsa ini yang rela miskin demi politik bermartabat.

Realitanya, apapun halal dipakai untuk berpolitik dan mencapai kekuasaan. Bahkan, yang tak berbuat salah pun akan disalahkan ketika kalah oleh yang berbuat salah.

Apa pun ceritanya, kalau kekuasaan sudah diraih, semua jadi benar. Segenggam kekuasaan lebih kuat dari seribu kebenaran. Maka, cara salah dan curang pun harus dipakai agar menang. Karena ketika menang dan berkuasa, salah jadi benar. Kentut di muka umum pun orang akan tertawa.

Itulah realitas meraih kekuasaan yang terjadi di depan mata kita. Saat ini, Anda yang kalah pasti akan disalahkan karena tak ikut berbuat curang dan salah untuk menang. Anda yang menang dengan berbuat salah dan curang, sebentar lagi akan mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak, karena Anda sudah benar.

Tabik puuunnn...

�

Amiruddin Sormin
Wartawan utama