Pelajaran penting pertama yang didapat dari pelaku partai politik adalah saling hujat. Maka, kalau kacamata pemilih muda atau pemilih bangkotan sekalipun melihat politik dari sisi tim sukses alias TS, yang muncul adalah apatis yang berujung golput, karena semua calon kepala daerah jelek.

Tak ada calon kepala daerah yang bagus, karena yang diumbar adalah kejelekannya dengan dalih black campaign itu juga perlu. Tapi lupa, yang mendominasi justru black campaign. White campaign justru dinilai ngecap.

Pertarungan ide dan gagasan justru dianggap tong sampah. Celakanya, semua pertarungan ide dan gagasan itu justru disoraki dan di-bully akun bodong. Ini bentuk nyata pepatah lama; lempar batu sembunyi tangan.

Aneh bin nyata, ketika seorang tokoh bertarung di arena pemilihan kepala daerah, langkah pertama yang dilakukan adalah membentuk tim buzzer untuk menghantam dan menguliti lawan sampai ke celana dalamnya. Ini realitas dunia politik terkini di jagad maya.

Tokoh ini meminta tim buzzer hanya memakai otak kiri. Lupakan otak kanan, karena semua pemilih harus dapat informasi terjelek apapun dari lawan. Akun bodong pun jadi pemain politik dunia maya, dengan foto wanita seksi setengah menjulurkan lidah yang setiap pagi mengunggah status, "Hai, mau mandi nih, siapa mau ikut."

Inilah hasil pendidikan politik sejak reformasi bergulir. Politik perang ala militer yang cuma mengenal kawan dan lawan dengan teori 'Kalau kuat lawan, kalau ngak kuat rangkul'. Tak penting berapa tingkat partisipasi pemilih, yang penting terpilih.

Ini bukan pesta demokrasi, tapi pesta para tim sukses bermodal akun bodong. Masukkan ke tong sampah kesantunan. Ciptakan politik itu 'sumbu pendek' yang kapan pun disulut harus meledak dengan masalah sepele. Politik itu dunia TS, yang lain cukup dengar dan terima angpao, 'Hayyaaa....owe wayal (bayar)..."

Tabik puuunnn

Amiruddin Sormin
Wartawan Utama