BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Tuntutan ringan jaksa Fedrik Adhar atas dua polisi peneror air keras Novel Baswedan, satu tahun penjara, terus menuai kritik dan kecaman keras. Kedua polisi itu yakni Rahmat Kadir dan Ronny Bugis menyiramkan air keras terhadap Novel Baswedan, pada Selasa 11 April 2017.
Jaksa menilai Rahmat Kadir terbukti secara sah melakukan penganiayaan berat terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dengan menyiramkan air keras ke bagian wajah. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rahmat Kadir Mahulette selama satu tahun," kata jaksa Fedrik Adhar dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).
Menurut jaksa, meski bersalah Rahmat Kadir dianggap tak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel Baswedan. Dengan demikian dakwaan primer dalam perkara ini tidak terbukti. "Terdakwa langsung menyiramkan cairan asam sulfat ke badan korban, tetapi mengenai wajah. Oleh karena dakwaan primer tidak terbukti maka harus dibuktikan secara menyeluruh," kata jaksa.
Tuntutan serupa juga dijatuhkan kepada terdakwa Ronny Bugis. Dalam pertimbangannya, jaksa menyebut hal yang memberatkan bagi para terdakwa adalah perbuatan mereka mencederai kehormatan institusi Polri. Sedangkan yang meringankan mereka adalah belum pernah dihukum dan mengakui perbuatannya, kooperatif dalam persidangan, dan mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.
Di Lampung, kasus ini makin menarik. Sejumlah warga mengunggah screenshoot Instagram tentang Fedrik Adhar dengan nama akun fedrik_a_syaripudin5. Dalam akun tersebut terdapat foto bergambar Fedrik berseragam Kejaksaan dengan keterangan Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) Angkatan 2000. Kemudian TAK 2009/609, Danton 10, Pendidikan Profesi Jaksa (PPJA) Angkatan 70 tahun 2013. Ketua Kelas 8/Senat Satuan Kejari Jakarta Utara.
Dosen FH yang juga Ketua Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) FH Unila, Gunawan Jatmiko, mengatakan awalnya tak tahu kalau Fredi alumni FH Unila. Terlepas dari siapa pun jaksanya, kata Gunawan, hukum pidana tidak mengenal istilah tidak sengaja untuk menentukan kesalahan seseorang, yang ada selain sengaja adalah kelalaian.
"Jadi aneh alasan JPU menggunakan istilah tidak sengaja untuk menuntut ringan seseorang. Istilah sengaja dan tidak sengaja hanya dikenal dalam tindak pidana ekonomi untuk membedakan kejahatan (dilakukan dengan sengaja) dengan pelanggaran (dilakukan tidak dengan sengaja)," kata Gunawan Jatmiko, kepada Lampungpro.co, Minggu (14/6/2020).
Tak urung kasus ini juga membuat heboh dosen dan alumnus FH Unila. Menurut Dosen S2 FH Unila, Eddy Rifai, dalam sistem yang ada sekarang, JPU itu kepanjangan institusi Kejaksaan. "Karena rencana tuntutan atau rentut harus disetujui Kajari pada tingkat kabupaten kota atau Kajati untuk provinsi. Bahkan ke Kejagung untuk perkara besar dan mendapat perhatian masyarakat," kata Eddy Rifai.
Eddy menambahkan banyak alumni FH Unila yang berprestasi. Misalnya Kajati DKI Jakarta Dr. Asri Agung Putra, Alumni FH Unila 1984. "Orangnya baik dan respek terhadap keadilan. Beberapa kali menjadi jaksa terbaik. Kebetulan Pak Asri Agung saya yang bimbing. Dulu lama tugas di Lampung dan Kajati Kepulauan Riau. Termasuk Pak Prasetyo, Jaksa Agung periode lalu. Beliau Alumni FH Unila 1977," kata Eddy. (PRO1)
Berikan Komentar
Saya yakin kekalahan Arinal bersama 10 bupati/walikota di Lampung...
1291
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia