BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.com): Pembangunan jembatan layang (flyover) bukan pilihan tepat untuk mengatasi kemacetan di Bandar Lampung. Dalam jangka pendek, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung perlu menyusun rancangan pengaturan lalu lintas dengan pendekatan kawasan.
Demikian kesimpulan diskusi penanganan kemacetan di Bandar Lampung yang dihadiri berbagai kalangan seperti akademisi, budayawan, dan praktisi, di Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Lampung, Selasa (20/6/2017). Diskusi juga merekomendasikan dalam jangka menengah Pemkot perlu menyusun urban design menyeluruh sebagai kota besar. Sedangkan dalam jangka panjang, Bandar Lampung harus memiliki manajemen dan sistem transportasi yang komprehensif.
"Dibutuhkan political will kepala daerah untuk lebih melibatkan partsipasi warga dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Dalam mengatasi masalah transportasi, selain permasalahan moda dan prasarana, diperlukan traffic management yang komprehensif melalui pendekatan kawasan. Juga, perlu pengaturan dan perubahan habitat masyarakat dengan membuat role system yang tepat," kata Kepala Balitbangda Provinsi Lampung, Mulyadi Irsan, Rabu (21/6/2017).
Menurut Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Titi Liyani, mengatasi kemacetan kota tidak serta merta dibangun flyover. "Perlu traffic management yang tidak semata di spot-spot tertentu, tapi dengan pendekatan kawasan. Beberapa jalan lokal bisa dioptmalkan. Traffic signal bisa dioptmalkan, sebelum melangkah ke interchange atau flyover. Masih banyak yang bisa dilakukan sebelum membangun interchange. Semua perlu dibangun manajemennya secara kawasan, tidak di spot-spot tertentu," kata Titi Liyani.
Menurut Novi dari Kantor Pengawasan dan Perencanaan Jalan dan Jembatan Nasional (P2JN) pengajuan pembangunan flyover belum lengkap. Dia menjelaskan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL/UKL) dan analisa dampak lalu lintas (andalalin) baru diserahkan beberapa hari lalu. Namun detail enggineering design (DED), menurut Novi belum diserahkan.
Proyek itu, kata dia, harus diawali pengajuan surat ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR). Kantor P2JN kemudian menindaklanjutinya dengan mengirim surat perihal kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi Pemkot.
"Harus ada feasibility study (FS) terlebih dahulu. Namun saat P2JN mulai mengasistensi DED, ternyata FS belum ada. Tidak adanya FS tersebut menjadi pertanyaan P2JN, karena DED baru bisa mulai setelah ada FS. Pemerintah Kota kemudian melakukan FS bersamaan dengan DED. Proses tersebut belum selesai, tetapi pembangunan sudah dimulai," kata Novi.
Sedangkan akademisi Teknik Sipil Universitas Lampung, Anshori Djausal menilai, dari sudut pandang keinsinyuran pembangunan flyover simpang Mal Boemi Kedaton (MBK) sangat terburu-buru. Menurut Anshori yang juga dikenal sebagai budayawan itu, pengambilan keputusan persimpangan tidak boleh terburu-buru, karena persimpangan menyangkut kepentingan publik.
Ia menilai sebelum pembangunan fyover seharusnya ada rencana detail tata ruang kota (RDTRK). "Seperti apa rancangan pembangunan gedung di jalur itu? Investor harus mengikuti. Karena tidak ada desainnya, pembangunan menjadi liar. Membangun Bandar Lampung, perlu perancangan yang utuh sebagai sebuah kota. Tidak sepotong-sepotong seperti sekarang. Menata kota bukan hanya membangun fisik," kata Anshori.
Senada dengan Anshori, persimpangan menurut Titi Liyani merupakan komponen penting dalam jaringan jalan. Kasus simpang MBK harus ditangani secara kawasan. Di Jalan Sultan Agung ada rel kereta api. Hal ini menurut Titi belum dilihat oleh Pemkot dengan pembangunan flyover dan hanya dilihat dari aspek satu titik. "Padahal ada banyak titik kawasan," ujar Titi yang juga dosen Institut Teknologi Sumatera (Itera) itu.
Di sisi sosial, dosen dan pengamat sosial Budi Harjo mengatakan mengambil kebijakan, apalagi menyangkut kepentingan publik, tidak bisa hanya berdasarkan kewenangan atau otoritas. "Tidak boleh dilakukan terburu-buru dan tidak didasarkan pemahaman yang komprehensif," kata Budi.
Tiga dimensi dalam pengambilan kebijakan publik, yaitu bagaimana pemerintah mendidik masyarakat melalui prosespar partipasi, melibatkan otoritas keilmuan, dan kewenangan birokrasi. "Pemerintah tidak boleh meminggirkan peran akademisi. Teori dan ilmu penting sebagai dasar membuat kebijakan. Penting memperhatikan dan mempertimbangan perilaku masyarakat," kata Budi. (PRO1)
Berikan Komentar
Saya yakin kekalahan Arinal bersama 10 bupati/walikota di Lampung...
1706
Lampung Selatan
12759
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia