BANDAR LAMPUNG--Sejak kehadirannya pada 5 Februari 1947 hingga saat ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membuktikan dedikasinya kepada bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia. Ratusan bahkan ribuan kader yang dicetak HMI sudah mewakafkan diri mereka untuk ikut membangun Indonesia dari berbagai bidang yakni pemerintahan, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Sumber daya manusia (SDM) HMI selalu siap mengabdikan diri untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Seiring perkembangan teknologi informasi berbasis digital, HMI sebagai organisasi yang lokusnya membangun kader ummat dan bangsa sudah seharusnya menyesuaikan gerakannya dengan kadar zaman (digital), sehingga produksi kader-kader terbaik tetap terlaksana sebagaimana yang menjadi misi HMI yakni terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
Inilah hikmah klasik yang masih berlaku hingga sekarang, namun jarang kita renungi, apalagi kita terapkan. Sudah saatnya HMI mereduksi nilai-nilai gerakannya dengan perkembagan zaman yang ada, dimana era digital (internetnisasi) memengaruhi segala aspek kehidupan saat ini, sehingga setuju atau tidak, HMI tetap mengikuti kemauan zaman untuk mengawal generasi muda Indonesia sebagai upaya mencegah apa disebut kesenjangan generasi (generation gap).
Setiap zaman atau generasi memiliki masalahnya sendiri. Apa yang diajarkan pada latihan kader pada generasi Lafran Pane tentu berbeda dengan konteks generasi Cak Nur. Apa yang diajarkan pada generasi Cak Nur, berbeda dengan tantangan zaman generasi Anies Baswedan. Begitu seterusnya hingga sampailah pada generasi kita.
Maka, penting kiranya untuk memahami permasalahan setiap generasi, utamanya generasi kita sendiri. Mustahil dapat menyelesaikan problematika generasi, jika konteks masalahnya saja kita gagal untuk memahaminya.
Peter H Diamandis (2015) mengemukan tentang 6 D perkembangan eksponensial masyarakat abad 21. Pertama adalah digitize, suatu upaya mendigitalisasi segala tatanan kehidupan, termasuk tatanan bisnis. Kemudian deceptive, yaitu fase di mana terjadi penyangkalan di mana-mana terhadap tatanan kehidupan yang baru ini.
Misalnya demonstrasi taksi konvensional terhadap taksi online. Sangkalan demi sangkalan akan mengantarkan kita pada tahap yang ketiga, distruptive. Teknologi mempermudah inovasi dari cara yang baru sembari mengganti yang lama. Turbelensi pun memuncak, hingga terjadilah tiga tahap selanjutnya yakni demonitisasi, dimana uang dianggap hanya ilusi dari ekonomi memiliki.
Chris Anderson (2010) menyebutnya sebagai Society of Free, masyarakat yang gandrung terhadap yang gratis. Dan bisnis gratis itu justru menjadi bisnis yang paling menguntungkan, misalnya Google, Facebook, Instagram, atau Whatshap. Kemudian terjadilah dematerialisasi, semua barang dan jasa yang serba fisik berganti menjadi pola yang terkoneksi secara digital.
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4148
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia