BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Sidang kasus korupsi bantuan operasional kesehatan (BOK) di Puskesmas Lampung Utara, yang menyeret nama Kepala Dinas Kesehatan Lampung Utara Maya Mettisa kembali digelar, setelah tiga pekan ditunda karena terdakwa sakit, Senin (2/11/2020). Dalam sidang kali ini, menghadirkan dua saksi yakni Tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembagunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Lampung Nova Tamara dan ahli hukum Universitas Lampung Edi Rifai.
Dalam persidangan, saksi Nova Tamara membenarkan terdapat penyimpangan dana sebesar 10 persen, dalam kasus korupsi BOK Puskesmas Lampung Utara ini. Total kerugian negara akibat penyimpangan ini mencapai Rp2,10 Miliar. Ada lima orang dari Tim BPKP Lampung yang mengaudit masalah ini, mereka meminta penyidik untuk melakukan ekspos permasalahan yang terjadi di dalam kasus tersebut.
"Semua prosedur tersebut sudah dilakukan. Terkait lamanya proses audit tersebut, dalam pemeriksaan kasus ini berkisar 15 hari. Kemudian dilakukan penambahan 10 hari, jadi total waktu yang selesai sekitar 25 hari. Kemudian potongan 10 persen ini tidak ada kuitansi. Lalu bendahara Dinas juga tidak memberikan bukti kuitansi," kata Nova.
Namun dalam kenyataannya, terdapat cap lunas yang seolah-olah tidak ada pemotongan, namun pada kenyataanya ada pemotongan. Bendahara Dinas dan Puskesmas sama-sama mencatat pemotongan. Untuk nilai atau potongan disetiap masing-masing Puskesmas, mereka langsung menyampaikan secara langsung.
"Jumlah potongan adalah Rp2,10 Miliar dan kami lampirkan dalam laporan kerugian negara. Pernyataan dari Puskesmas juga menyebut ada potongan dan mereka mencatat dalam buku catatan, untuk bendahara dilakukan klarifikasi sebanyak tiga kali," ujar Nova.
Sedangkan Maya Mattisa menyebut berdasarkan berita acara perkara (BAP) dijelaskan oleh Nuyai ada perintah dari kadis mengenai pemotongan 10 Persen. Pihak BPKP juga melakukan klarifikasi ke Maya Mettisa bahwa beliau mengakui dana pemotongan, kemudian penyerahannya dilakukan setelah ada pencairan.
Sementara itu, menurut ahli hukum Universitas Lampung Edi Rifai yang dihadirkan sebagai saksi ahli mengungkapkan, pembakaran barang bukti yang dilakukan Bendahara atas nama Nunyai dapat diartikan masuk dalam pasal 55 menghalangi-halangi. Berdasarkan pernyataan dari Jaksa, perkara ini lebih kepada kepala dinas. Kemudian pihak pengacara, lebih menyatakan bendahara yang melakukan pemotongan.
"Bendahara yang melakukan pemotongan, ternyata bendaharanya tidak jadi tersangka. Apalagi terdapat pembakaran dokumen barang bukti, kemudian menghapus file dan sebagainya. Kalau dari ahli, terdapat Pasal 55 ada yang namanya turut serta kalau dua-duanya melakukan ada pidana," ungkap Edi Rifai.
Edi Rifai menyebut, hal ini harus dibuktikan adakah perintah dari atasan ke bawahan, soal pembakaran barang bukti. Apabila didapati bendahara ini tidak dipidana. Tapi kalau tidak ada perintah, berarti dia masuk pasal menghalang-halangi penyidikan ada pidananya. (PRO3)
>
Berikan Komentar
Pemkot Bandar Lampung tak perlu cari TPA baru sebagai...
386
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia