Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Sila Keempat, Algoritma dan Perjuangan Keadilan Digital Global
Lampungpro.co, 14-Jun-2025

Amiruddin Sormin 570

Share

Heri Wardoyo. LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG--Pada 2012, Evgeny Morozov dalam bukunya The Net Delusion: The Dark Side of Internet Freedom telah mengingatkan dunia agar tidak terlalu percaya bahwa internet otomatis membawa demokrasi. Internet bisa berubah menjadi alat pengawasan dan represi jika dikuasai oleh pihak yang salah. Kini, di tahun 2025, ramalan Morozov kian nyata—alih-alih menjadi ruang publik yang setara, internet justru memperdalam jurang ketimpangan global.

Dominasi digital saat ini tunduk pada hukum Pareto: sekitar 20% negara, bahkan hanya segelintir perusahaan teknologi raksasa di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa, menguasai lebih dari 80% infrastruktur internet, kapasitas komputasi, dan lalu lintas data dunia. Internet yang awalnya dibayangkan sebagai taman kolektif kini menjelma menjadi tambang algoritma yang mengeksploitasi perhatian, waktu, dan bahkan demokrasi itu sendiri.

Kini dunia bersiap menyambut teknologi generasi keenam—6G, yang menjanjikan kecepatan 100 kali lipat dari 5G, nyaris tanpa latensi, dan penyatuan total dunia fisik dan virtual. Tapi siapa yang paling diuntungkan? Jika kecenderungan ini berlanjut, hanya mereka yang menguasai teknologi chip nano, kapital besar, dan paten kecerdasan buatan (AI) yang akan memegang kendali masa depan digital.

Negara-negara Global South hanya menjadi pasar. Mereka tidak memiliki suara dalam mendesain arsitektur teknologi masa depan.

Padahal, jika kembali kepada sila keempat Pancasila—“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”—maka konsentrasi kekuasaan digital ini jelas melenceng dari semangat keadilan dan kedaulatan. Dunia digital seharusnya tidak menjadi arena baru para oligarki teknologi, di mana warga dunia lainnya hanya jadi konsumen pasif.

Kebijaksanaan digital tidak lahir dari algoritma yang memanipulasi emosi demi klik dan keuntungan, melainkan dari musyawarah jujur untuk masa depan bersama. Hingga kini, belum pernah terjadi permusyawaratan global yang adil soal masa depan teknologi. Forum-forum seperti G7 atau Davos terlalu eksklusif dan elitis. Dunia membutuhkan konvensi global tentang keadilan data, arsitektur AI yang berpihak pada kemanusiaan, serta sistem redistribusi digital yang berkeadilan.

Apakah mungkin? Tentu saja, jika ada kemauan politik dan keberanian moral. Misalnya, negara-negara berkembang dapat membentuk Dana Keadilan Digital Internasional. Dana ini bisa bersumber dari pajak penggunaan data warga, royalti atas model AI terbuka, dan sumbangan dari transaksi digital lintas negara. Dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur teknologi nasional, pendidikan digital, hingga pengembangan perangkat lunak sumber terbuka.

Kita juga bisa membangun sistem keuangan terdesentralisasi berbasis blockchain antarnegara-negara Selatan, untuk mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan global seperti Bretton Woods. Indonesia bisa mengambil peran kepemimpinan dalam upaya ini.

Yang perlu disadari, ketimpangan digital bukan terjadi karena kurangnya teknologi, melainkan karena minimnya permusyawaratan. Kekayaan baru dunia bukan lagi minyak atau emas, tetapi perhatian dan data. Maka, demokrasi tidak cukup hanya di tempat pemungutan suara (TPS), tapi juga harus hadir di server dan pusat data dunia.

Pancasila bukan sekadar materi pelajaran PPKn, melainkan sistem nilai yang relevan dan bisa ditafsirkan ulang dalam konteks kekinian—termasuk dalam perjuangan keadilan digital dan distribusi algoritma global. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang tidak hanya sebagai pengguna, tapi juga perancang peradaban digital, maka saatnya kita memastikan ruang digital dunia dikelola bukan oleh nafsu monopoli, tapi oleh hikmat kebijaksanaan bersama. (***)

#

Penulis: Heri Wardoyo | Satupena Lampung,, Editor Amiruddin Sormin

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved