BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.com):�Kita mungkin sudah sangat akrab dengan berbagai jenis diet yang dikenal luas di tengah masyarakat. Apalagi, bagi yang ingin menurunkan berat badan atau mempertahankan bentuk tubuh idealnya. Namun, ternyata ada sejumlah diet yang menambah kerusakan kelestarian lingkungan.
Komisi EAT Lancet mengumpulkan puluhan ilmuwan lintas disiplin ilmu kesehatan dari berbagai negara. Mereka mengembangkan pola makan yang tidak hanya membuat pelakunya sehat, namun juga memperhatikan produksi pangan berkelanjutan.
Secara umum, literatur menyebut pola tersebut bersifat 'win-win' atau saling menguntungkan. baik bagi manusia, maupun alam. "Healthy dan sustainable. EAT Lancet merekomendasikan healthy diet untuk keberlangsungan alam."
Demikian kata Komisioner EAT Lancet Rina Agustina dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kesehatan RI, Kuningan, Jakarta, Jumat (18/1/2019). Saat ini, ketimpangan pangan masih terjadi di masyarakat.
Di satu sisi, ada masyarakat yang masih kesulitan mendapatkan makanan dengan nutrisi cukup. Di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang memiliki makanan berlebih sehingga terkena sejumlah penyakit tidak menular.
Jika tidak dilakukan tindakan, maka anak cucu yang mewarisi planet bumi nantinya berpotensi mengalami kekurangan gizi dan penyakit yang dapat sebenarnya dapat dicegah. Untuk itulah, Komisioner EAT Lancet Rina Agustina mengatakan, perlu ada sebuah transformasi pola makan yang dilakukan segera. "Semuanya harus mendapatkan makanan sehat," kata Rina Agustina.
Sebagian besar penelitian menyimpulkan, pola makan yang kaya sumber pangan nabati dan lebih sedikit pangan sumber hewani akan lebih bermanfaat bagi kesehatan dan lingkungan. Namun, masih belum ada konsensus global tentang definisi makanan sehat dan produksi pangan berkelanjutan.
Lalu, pola makan seperti apa yang dianggap ideal tersebut?
Perbanyak sayur dan buah
Sebagai gambaran, ambillah sebuah piring. Isi 50 persen atau setengah dari piring tersebut dengan sayuran dan buah. Selanjutnya, setengah piring yang tersisa diisi berisi biji-bijian utuh, protein nabati, lemak tak jenuh, dan sedikit protein hewani.
Sayangnya, kata Rina, masih banyak masyarakat Indonesia masih belum mengisi sebagian besar piring makan mereka dengan sayur dan buah. Nasi putih atau sumber karbohidrat masih sering mendominasi piring makan.
Rina menambahkan, upaya mengedukasi masyarakat agar mengganti nasi dengan sumber karbohidrat lainnya, seperti sagu, ketela, jagung, dan lainnya, terus dilakukan. "Nenek moyang makan itu. Sebetulnya (ini) harus dipromosikan karena akan membantu kita meningkatkan kesehatan dan menurunkan kerusakan bumi," kata Rina.
Menghindari daging merah
Diet "win-win" ini menganjurkan konsumsi sumber hewani lain, seperti ikan dan makanan laut, dan menghindari daging merah. Daging merah dinilai memberikan dampak buruk untuk jangka panjang. Di antara semua jejak karbon, daging merah disebut meninggalkan jejak paling banyak.
Selain itu, kata Rina, banyak pihak telah membuktikan, daging merah banyak berhubungan dengan mortalitas. "Peranan daging merah konsisten terhadap kejadian penyakit kardiovaskular, kematian, dan sebagainya. Terutama yang diproses," ucap dia. "Intinya diversity. Keberagaman makanan dan kami encourage plant based source lebih banyak." (***/PRO3)
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4133
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia