"Jika kita membangun relasi dari awal dengan cara yang kompetitif, protektif, bahkan reaktif, kita justru akan cenderung menutup diri. Setiap ada hal baru, kita merasa terancam, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan, padahal kita harus membongkar cara pandang eksklusif ini dan menggantinya dengan inklusivitas, sebagai prasyarat penting untuk kehidupan yang plural dan beragam," ungkap Asrorun.
Asrorun turut mengingatkan kepada para peserta, bahwa dunia saat ini semakin "borderless" atau tanpa batas, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini terlihat dari bagaimana negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini membuka diri untuk berkolaborasi dengan dunia internasional.
Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, Asrorun menjelaskan, tantangan utama bagi generasi muda saat ini adalah mengubah mindset atau cara berpikir mereka. Dengan waktu yang terbatas hanya sekitar 21 tahun lagi menuju tahun 2045, generasi muda harus mulai mempersiapkan diri dari sekarang.
"Jika sekarang berusia 20 tahun, maka pada saat Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaannya, usia akan 41 tahun. Lihatlah contoh Dr. Muhammad Kadafi, Rektor Universitas Malahayati, yang sudah menjadi anggota DPR dan memimpin kampus sebesar ini pada usia yang masih muda. Apa yang kalian persiapkan untuk menyambut Indonesia Emas?" tanyanya kepada peserta.
Asrorun juga menjelaskan, peta jalan untuk mencapai Indonesia emas sudah ditetapkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) hingga tahun 2045. Namun posisi generasi muda dalam peta itu sangat tergantung pada cara pandang mereka terhadap perubahan yang terjadi saat ini.
Ia juga mengingatkan dalam era yang semakin kompetitif ini, pendekatan kolaboratif harus lebih diutamakan daripada bersaing secara sempit.
Prof. Dr. Asrorun juga menjelaskan, dalam relasi sosial yang terus berubah, inklusivitas menjadi syarat utama untuk tetap relevan. Ia turut menyoroti pentingnya generasi muda membangun jejaring yang luas dan membuka diri terhadap ide-ide baru.
"Kita hidup di dunia yang terhubung, jadi relasi sosial dan ekonomi sudah melewati batas negara. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik tembok proteksi, melainkan harus siap bersaing secara terbuka dan berkolaborasi," jelasnya.
Menurut Asrorun, generasi muda tidak boleh hanya fokus pada kompetisi semata, tetapi harus memahami bahwa kolaborasi adalah jalan untuk maju di era global ini. Mainset kolaboratif ini harus menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan masa depan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya.
Para panelis memberikan perspektif beragam terkait moderasi beragama. KH. Hasan Errezha, Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren) Lampung, membahas peran pesantren dalam penguatan moderasi beragama.
Hasintya Saraswati, Staf Khusus Menpora Bidang Percepatan Inovasi Pemuda dan Olahraga, menekankan pentingnya pemuda dalam menjaga keseimbangan dan harmoni dalam beragama.
Sedangkan, Riski Gunawan, MPd, Fasilitator Nasional PMB Lampung, menutup sesi diskusi dengan menyampaikan definisi dan kebijakan terkait moderasi beragama yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. (***)
Editor : Febri Arianto
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4275
Lampung Timur
7146
Bandar Lampung
4507
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia