BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co) : Jutaan manusia di Bumi sudah merasakan penderitaan akibat bencana ekstrim yaitu perubahan iklim, yang dipicu oleh revolusi industri sejak abad ke-18. Mulai dari bencana kekeringan berkepanjangan di bagian timur benua Afrika, hingga badai tropis yang menyapu banyak kawasan di Asia Tenggara.
Dilansir dari situs United Nations (un.org) ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan untuk berperan serta dalam isu perubahan iklim. Langkah-langkah tersebut mulai dari penghematan penggunaan listrik di rumah tinggal.
Sebagian besar listrik yang dihasilkan bersumber dari bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi dan gas alam). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penggunaan energi fosil memiliki dampak yang serius terhadap perubahan iklim.
Langkah sederhana seperti pemilihan desain penghawaan yang baik untuk rumah tinggal dibanding penggunaan air conditioner, memilih mengeringkan pakaian dengan cara menjemur di bawah sinar matahari dibandingkan menggunakan mesin pengering, memilih berjalan kaki, bersepeda, atau mengunakan transportasi umum dibandingkan dengan kendaraan pribadi adalah contoh mengurangi penggunaan energi fosil.
Pesawat udara mengkonsumsi energi fosil yang sangat besar, ketika beroperasi sehingga emisi gas yang dihasilkan secara signifikan menambah pengaruh efek gas rumah kaca. Oleh karena itu, sebaiknya mempertimbangkan rencana perjalanan jarak jauh dengan opsi bertemu secara online.
Selain itu, produksi makanan dari pertanian dan perkebunan secara umum menghasilkan lebih sedikit efek gas rumah kaca dan menggunakan lebih sedikit sumber energi, air, dan tanah. Oleh karena itu sangat dianjurkan menambah perbandingan proporsi sayuran dan buahan pada menu makanan yang dikonsumsi, disamping juga memang baik dari segi kesehatan tubuh.
Salah satunya Indonesia yang tak luput dari pengaruh fenomena perubahan iklim ini. Dilansir dari situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (bnpb.go.id), bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim mendominasi kejadian bencana sejak tahun 2008 hingga saat ini.
Menurut data tersebut, banjir menempati urutan pertama diikuti tanah longsor dan puting beliung. Pada tahun 2021, total kejadian bencana di Indonesia tercatat sebanyak 5.402 kejadian, mayoritas akibat bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrim).
Angka tersebut naik hampir 50% dibanding dua tahun sebelumnya (tahun 2019) yaitu sebesar 3.814 total kejadian. Bahkan mulai awal tahun sampai dengan 16 Maret tahun ini (2022), tercatat sudah 949 kejadian bencana yang berkaitan dengan hidrometeorologi.
Menurut, Dosen Univeristas Teknokrat Indonesia Rio Aditomo M. Putra, S.T., M.T. mengatakan berkaca dari angka-angka tersebut sudah seharusnya penduduk bumi berbuat sesuatu agar iklim global di planet ini bisa kembali ramah untuk ditinggali. "Diberbagai belahan dunia telah banyak infrastruktur dibangun dengan inovasi dan rekayasa keteknikan. Sebagai jawaban dalam menghadapi bencana akibat perubahan iklim," ucap Rio yang juga pengamat lingkungan dan infrastuktur kebencanaan.
Tampaknya opsi ini banyak dipilih sebagian besar pemerintah di dunia termasuk di Indonesia. Terowongan Stormwater Management and Road Tunnel (SMART) di Malaysia, proyek G-Cans (tangki raksasa bawah tanah) di Jepang, Experimental Electronical Module (MOSE) proyek pembelah lautan di Italia, proyek Delta Plan di Belanda adalah sederet inovasi infrastruktur yang diklaim telah berhasil mengatasi bencana banjir.
Pemerintah Indonesia sendiri telah membangun Terowongan Nanjung di Kabupaten Bandung, Jawa Barat guna memperlancar aliran Sungai Citarum ke hilir, sehingga dapat mengatasi banjir di Kabupaten Bandung. Otoritas setempat mengklaim bahwa area terdampak banjir sudah berkurang secara signifikan dari semula 490 kilometer persegi menjadi 80 kilometer persegi akibat hadirnya terowongan ini.
Demikian pula dengan berbagai daerah lain di Indonesia, masing-masing pemerintah daerah berusaha mengatasi dampak perubahan iklim dengan membangun berbagai infrastruktur. Meski pilihan ini membutuhkan anggaran yang tidak murah.
Proyek infrastruktur pengendali banjir dapat memakan biaya sampai dengan ratusan milyar bahkan trilyunan rupiah. Tentunya ini adalah opsi yang tidak mudah bagi pemerintah di negara manapun. Inovasi infrastruktur untuk pengendali banjir pun lebih tepat dikatakan sebagai pengobatan dibanding pencegahan.
"Petuah lama berbunyi mencegah lebih baik dari pada mengobati bukan? Inovasi infrastruktur hanya menjawab setengah bahkan sebagian kecil dari pertanyaan besar umat manusia, yaitu dapatkah iklim di bumi kembali seperti sedia kala saat tidak perlu khawatir ketika terjadi hujan dengan intensitas yang lama?. Lalu upaya apa yang bisa dilakukan sebagai makhluk hidup yang terpapar dampak perubahan iklim?," kata Rio.
Diperlukan konsistensi agar upaya-upaya sederhana pencegahan laju perubahan iklim tersebut dapat dirasakan. Upaya lain yang dapat lakukan yaitu speak up! Mari mensosialisasikan kepada keluarga, sahabat, dan lingkungan terdekat, agar semakin banyak orang yang mengetahui agar pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang selaras dengan penghematan penggunaan energi fosil untuk mengurangi laju perubahan iklim. (***)
Sumber : Humas UTI
Berikan Komentar
Kawan, jangan lupakan jalan pulang: jalan rakyat yang dulu...
5287
Tulang Bawang
553
355
04-Jul-2025
233
04-Jul-2025
294
04-Jul-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia