JAKARTA (Lampungpro.co): Perusahaan oleokimia PT Sumi Asih stop produksi. Keputusan ini, karena tidak mampu memenuhi kewajiban memasok minyak goreng sebanyak 20% dari produk yang akan diekspor. Kewajiban memasok 20% ini merupakan kebijakan domestic market obligation (DMO) minyak goreng yang dibuat pemerintah.
Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih, Markus Susanto, mengatakan karena tidak bisa beroperasi, pabrik yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat, tersebut merumahkan 350 karyawan. Markus Susanto yang lama memimpin PT Sumi Asih di Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung ini, memaparkan pabriknya tidak menggunakan crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku produksi.
Tetapi menggunakan RBD stearin yakni produk samping pabrik minyak goreng guna kemudian diolah menjadi stearic acid dan glycerine. "Aturan tersebut tentu menyulitkan produsen oleokimia yang tidak memproduksi minyak goreng," kata Markus.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2022 mewajibkan produsen oleokimia yang akan mengekspor produknya menjalankan DMO minyak goreng. Untuk memenuhi kewajiban DMO itu, pihaknya harus membeli CPO atau olein dengan harga pasar yang saat ini Rp20.500 per kilogram. Kemudian menjual minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah Rp10.300 per kg.
"Jika dihitung dengan melaksanakan DMO sebesar 20 persen, perusahaan tiap bulan akan menanggung defisit sekitar Rp6,3 miliar," kata Markus sebagaimana dikutip Suara.com (jaringan media Lampungpro.co), dari Antara, Minggu (13/3/2022).
Dia merinci angka itu berasal dari 30 ribu ton produk stearic acid dan glycerine yang setiap bulan diekspor dikalikan 20% berarti 600 ton. Kemudian dikalikan selisih yang harus dibayar bahan baku dengan minyak goreng Rp9.700 per kilogram sama dengan Rp6,3 miliar.
Jika sekarang DMO menjadi 30% berarti defisit perusahaan hampir Rp10 miliar dalam sebulan. Dia menyebutkan peraturan DMO itu tidak berdampak serius bagi industri oleokimia yang terintegrasi yakni dalam satu grup usaha juga memiliki kebun sawit. Atau punya pabrik kelapa sawit (PKS) yang memproduksi tandan buah segar (TBS) menjadi CPO, punya pabrik pengolahan minyak goreng, pabrik oleokimia sampai pabrik fatty alcohol, dan pabrik biodiesel.
Markus mengungkapkan, saat ini perusahaannya tidak dapat melakukan ekspor karena tiga pekan tidak berproduksi. Bagi mereka ini akan sangat mudah melaksanakan aturan DMO itu, karena dia produksi minyak goreng. Walaupun dia rugi jual minyak goreng untuk DMO, tapi dia kan bisa menggenjot produk lain untuk diekspor, kata dia.
Tolak DMO Naik 30%
Di sisi lain, Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menolak DMO 30% dari sebelumnya 20%. "Tidak perlu DMO 30%, cukup 20%. Bahkan saya sarankan supaya lebih lancar lagi, tidak perlu ada DMO, ujar Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga dalam konferensi pers, Jumat (11/3/2022).
Kebijakan tersebut justru akan mempersulit eksportir, bahkan bisa mengakibatkan ekspor jadi macet. "Apabila ekspor terhalang, perkebunan sawit akan rugi karena 6% market kita ada di pasar luar negeri, ujar Sahat. (***)
Editor:
Berikan Komentar
Lampung Selatan
867
Nasional
405
Olahraga
476
Bandar Lampung
1168
180
19-Jun-2025
210
19-Jun-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia