INDIA (Lampungpro.com): Diskriminasi terhadap Muslimah pengguna hijab masih dirasakan sebagian perempuan Islam di dunia. Termasuk di salah satu sekolah di India. Fakeha gadis berusia 19 tahun harus bertarung di pengadilan selama 16 bulan terakhir agar bisa kembali ke sekolahnya di Bhiwandi, Mumbai. Sekolah itu dikelola oleh Janseva Mandal Trust.
Fakeha sejak November 2016 tercatat sebagai mahasiwa kedokteran di Sai Homeopathic Medical College dan Nityanand Hospital - sebuah institusi swasta di Bhiwandi. Namun dia mulai dihambat untuk tak lagi masuk sekolah setelah mengenakan jilbab.
Dia sempat melawan kebijakan larangan jilbab ini. Meski mendapat dukungan dari pengadilan, hingga kini Fakeha belum mencapai kesepakatan tentang pakaian yang diizinkan dan bahkan dimusuhi manajemen sekolah. Manajemen perguruan tinggi telah menyebut "keseragaman dalam pakaian" sebagai alasan untuk melarang dia memasuki tempat perguruan tinggi dengan jilbab.
Fakeha merasa itu adalah Islamophobia yang mengakar kuat yang telah mencegah manajemen bertindak wajar. Pekan lalu, Fakeha akhirnya memenangkannya lebih dari satu tahun pertempuran hukum setelah pengadilan tinggi Bombay memutuskan mendukungnya dan mengarahkan perguruan tinggi untuk membiarkan dia menghadiri kuliah dengan jilbabnya.
Dalam petisi tertulisnya, Fakeha telah meminta pengadilan untuk mengizinkannya mempraktekkan keyakinan agamanya tanpa batasan apa pun. Pengadilan tinggi Bombay yang dipimpin Hakim R.M. Savant dan Sarang Kotwal juga mengarahkan perguruan tinggi untuk mengizinkan Fakeha menghadiri kelas-kelas susulan dan menyelesaikan pendidikannya.
Ketika Fakeha kembali ke kelasnya pada 19 Maret, dia mengenakan jilbabnya. Tak mudah bagi Fakeha untuk masuk ke sekolah tersebut karena jarak tempuh yang jauh dari tempat tinggalnya. Dia harus menghabiskan enam jam perjalanan tetapi tidak ada pilihan karena inilah perguruan tinggi yang menerimanya lewat jalur umum.
Pada hari pertama kuliah, dia mengenang, para wali memberi tahu dia bahwa dia harus berhenti mengenakan jilbab jika dia ingin belajar di sini. Fakeha mengatakan dia tercengang dengan respon kampus itu. Saya telah menjalani semua kehidupan saya di dunia liberal. Memakai jilbab tidak pernah menjadi bahan diskusi. Agama saya adalah urusan pribadi saya dan tidak ada yang pernah mengganggu saya sebelum ini, kata Fakeha kepada The Wire.
Awalnya, dia berpikir bahwa dalam satu atau dua hari, administrasi kampus akan berhenti mengganggunya. Namun tekanannya hanya bertahan. Keesokan harinya, sekitar enam atau tujuh dari kami ditangkap dan diminta untuk menyingkirkan jilbab itu. Mereka mengatakan hanya celemek yang bisa dipakai sebagai seragam dan bahwa jilbab tidak diperbolehkan. Kebanyakan gadis merasa takut dan taat, tetapi dua dari kami tak bisa kemana-mana, kata Fakeha.
Sementara Fakeha memilih untuk melawan, siswa lain memilih untuk keluar. Untuk Fakeha, ini lebih merupakan masalah identitasnya dan keberatannya terutama di atas kendali bahwa institut ingin menggunakan pilihan pakaiannya. Kampus ingin mendiktekan aturan mereka kepada siswa Muslim yang berjumlah 40 persen dari keseluruhan siswa. Dan itu tidak bisa saya terima, kata Fakeha.
Perguruan tinggi itu sendiri terletak di kota yang memiliki populasi Muslim besar. Sebagian besar siswa perempuan di daerah mengenakan burqa atau jilbab sebelum mereka mendaftar di perguruan tinggi, kata Fakeha.
Tetapi CEO kampus, JP Shukla mengatakan bahwa dalam 12 tahun sejak dimulainya kuliah, tidak seorang siswa pun yang menuntut seperti Fakeha. Kami di sini untuk membuat siswa jadi profesional. Kami tidak menyarankan simbol-simbol agama apa pun untuk menghindari prasangka di benak para profesor dan sesama siswa, kata Shukla.
Siswa-siswa lain diduga telah diperingatkan untuk tidak berbicara dengan Fakeha dan perguruan tinggi telah menolak untuk menerbitkan jurnal dan kartu identitasnya. Saya satu-satunya siswa di kelas yang belum mendapatkan ini. Mereka menemukan cara-cara baru untuk melecehkan saya, kata Fakeha.
Sedihnya perintah pengadilan tampaknya tidak memiliki dampak yang lebih besar atas masalah ini. Pengadilan memiliki kesempatan yang baik agar institusi pendidikan tidak melarang hak seseorang untuk melaksanakan praktik keagamaan seseorang. Pendidikan tidak dapat ditolak hanya karena seseorang memilih untuk mengenakan turban atau hijab, kata pengacara Fakeha, Saranga Ugalmugle.
Mengadu ke pengadilan adalah keputusan yang sulit bagi keluarga Fakeha. Cuti dalam studi telah membuat dia memikirkan kembali keputusannya untuk bertarung.
Ini adalah pilihan terakhir. Kami pikir perintah pengadilan akan memberi kelegaan kepada saya dan mengakhiri penderitaan siswa lain juga. Tapi setelah semua ini, aku bertanya-tanya apakah itu bahkan layak, Fakeha merasa pesimis. (**/PRO2)
Berikan Komentar
Dukungan dan legacy yang besar, juga mengandung makna tanggung...
25028
Bandar Lampung
7100
188
22-Apr-2025
268
22-Apr-2025
278
22-Apr-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia