BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Kiprahnya di dunia hukum dan sosial membuat Saptarini banyak berhubungan dengan lintas kalangan. Profesinya sebagai konsultan dan memimpin Sapta Consultant, Yayasan Langit Sapta dan Ketua Forum Corporate Social Responsibility (FCL) Lampung membuat waktu 24 jam seolah tak cukup baginya.
Selain itu, peraih gelar doktor dengan predikat cum laude dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini juga dikenal sebagai arbiter. Dia bahkan menjadi arbiter wanita pertama di Lampung yang sering dipercaya menjadi pengajar para calon arbiter pada Institut Arbiter Indonesia (IarbI) di Jakarta. Sosok Kartini era digital ini, kemudian juga dikenal sebagai pribadi yang banyak bergerak mengajar dan melakukan sosialisasi arbitrase bagi masyarakat Lampung.
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. "Jadi kalau terjadi sengketa, terus timbul perkara terkait perjanjian bisnis baik dengan pihak pemerintah atau perusahaan swasta, BUMN, BUMD atau badan usaha lainnya, tidak harus kepengadilan, tapi bisa diselesaikan melalui arbitrase," kata Saptarini, di Bandar Lampung, Minggu (21/4/2024).
Di era teknologi informasi yang berkembang makin pesat, pelaku bisnis membutuhkan cara penyelesaian sengketa yang cepat dan fleksibel, namun mempunyai kepastian hukum. "Kalau kita cermati arah kebijakan pemerintah dalam bidang hukum, dukungan terhadap penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase terlihat dalam berbagai peraturan perundangan," ujar Saptarini yang juga Ketua Pusat Studi CSR Universitas Bandar Lampung ini.
Selain tegas diatur dalam undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam berbagai undang-undang disebutkan pilihan penyelesaian sengketa ini. Sebut saja beberapa di antaranya Undang-Undang Jasa konstruksi, UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri, UU Penanaman Modal, UU Perbankan Syariah, dan UU Perdaganganl, juga penyelesaian sengketa pengadaan barang dan jasa.
"Nah, untuk di Lampung, saya memperhatikan ada beberapa praktisi dan akademisi yang telah mengikuti pelatihan dan sertifikasi arbitrase, namun dari perkara saya belum mengetahui. Karena memang sifat arbitrase tertutup sehingga data sulit diperoleh. Selain itu belum ada perwakilan badan arbitrase di Lampung. Untuk BANI di wilayah Sumatera baru ada di Palembang, Jambi, dan Medan," ujar Wakil Sekjen Institut Arbiter Indonesia (IArbI) ini.
Walaupun Rini berharap di Lampung segera ada Kantor BANI, namun menurutnya tidak menjadi hambatan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase khususnya BANI, karena walaupun perkara didaftarkan di Kantor BANI terdekat yaitu Jakarta atau Palembang, para pihak tetap dapat meminta agar persidangan digelar di Lampung.
Rini, sapaan akrabnya, mengaku tertarik memasuki dunia arbitrase ini karena, pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang dari awal berniat menjalankan bisnis dengan baik. Saya suka mengutip pernyataan Profesor Huala Adolf :”hanya pihak yang 'bonafide' yang memilih beracara di arbitrase”.
"Tapi hati-hati ya, bonafide bukan diartikan penampilan keren. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kan bonafide bermakna dapat dipercaya dengan baik. Dasar utama penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah itikad baik dan ini sejalan dengan tata kelola organisasi yang baik," kata Rini.
Nilai ini, kata dia, sejalan dengan salah bidang yang saya dalami yaitu sustainable bisnis atau bisnis berkelanjutan, yang sebagian implementasinya dapat kita lihat dalam pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan. Kepedulian terhadap bisnis atau institusi yang pengelolaanya didasarkan pada prinsip sustainability saat ini tengah menjadi perhatian dunia. Pelaku bisnis makin sadar pentingnya pelestarian lingkungan, sosial dan tata kelola atau Good Corporate Governance (GCG). Salah satu nilai GCG adalah menghargai dan bersikap adil terhadap pemegang saham dan pemangku kepentingan. Rekanan perusahaan kan juga pemangku kepentingan. Jadi penyelesaian sengketa dengan itikad baik melalui arbitrase ikut menjaga iklim usaha yang berkelanjutan atau sustain," jelas Dewan Pengurus Institute of Certified Sustainability Practitioners (ICSP). ICSP adalah organisasi nasional bagi para praktisi keberlanjutan bersertifikat.
Secara pribadi beracara di arbitrase membuatnya bisa menggunakan secara optimal, kompetensi, pendidikan, dan pengalaman yang dia miliki baik di bidang hukum dan manajemen. Lebih dari 20 tahun bekerja di berbagai perusahaan sebelum akhirnya membuka kantor konsultan di Lampung dan Jakarta, dipadu dengan latar belakang pendidikan di bidang hukum dan manajemen membantu melihat perkara secara utuh. Karena itu saya merasa terhomat dan senang saat diminta BANI Arbitration Centre di Jakarta untuk bergabung sebagai arbiter listing BANI. Saat ini ada 94 orang Arbiter Indonesia dan 54 Arbiter Asing yang terdaftar di BANI.
"Melihat fenomena yang ada saat ini dapat dikatakan minat masyarakat terhadap arbitrase makin meningkat. Dalam satu dekade terakhir jumlah perkara yang ditangani BANI naik hingga 300%. Saya juga mengajar untuk pendidikan Arbiter di Institut Arbiter Indonesia (IArbI) di Jakarta, minat peserta juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Bukan hanya dari para profesional bidang hukum advokat dan notaris, namun juga akademisi termasuk para guru besar dan para pelaku bisnis, utusan perusahaan swasta dan BUMN juga dari instansi pemerintah," kata wanita yang beberapa kali didaulat menjadi tim juri Asia Sustainability Reporting Rating (ASRRAT) ini.
Walaupun demikian masih perlu banyak sosialisasi ke masyarakat, karena dari pengamatan, juga masih sangat banyak yang belum tau apa itu arbiter, khususnya di daerah. "Untuk memudahkan pemahaman, saya sering sampaikan, arbiter itu 'hakim swasta'. Pemutus perkara yang ditunjuk para pihak yang bersengketa. Pengetahuan masyarakat tentang arbitrase juga terkendala karena sifat persidangan tertutup," ujar dia.
Pihak di luar perkara tidak boleh datang melihat. Ini berbeda dengan pengadilan negeri, kita bisa saja melihat persidangan walaupun bukan pihak yang berperkara karena persidangannya bersifat terbuka.
Saat diminta menyebutkan kasus-kasus yang telah diselesaikannya melalui arbitrase ini, dia menyatakan tidak bisa menceritakan secara detil tentang perkara yang ditangani karena sifat kerahasiaan arbitrase. Tapi dia mengaku telah menangani beragam perkara yang pihaknya bukan hanya dari badan usaha swasta dengan penanaman modal dalam negeri dan luar negeri, BUMN, maupun BUMD namun juga dari instansi pemerintah.
Nilai lebih menyelesaikan masalah hukum lewat jalur ini, menurut dia, arbitrase sangat terbuka bagi para pihak namun bersifat tertutup dan rahasia bagi non pihak, sehingga nama baik terjaga dan bebas intervensi pihak yang tidak berkepentingan. Fleksibilitas dalam prosedur, dan persyaratan administrasi, penyelesaian perkara lebih cepat, maksimal 180 hari.
Para pihak dapat memilih atau menunjuk arbiter yang diyakininya menguasai bidang sengketa dan dipercaya dapat memutus dengan adil. Pilihan hukum, forum, dan prosedur penyelesaian juga berada di tangan para pihak. Namun putusannya final dan mengikat.
"Kalau ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan putusan secara sukarela, dapat dieksekusi. Tapi untuk perkara yang diselesaikan di BANI, lebih 80% dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak tanpa eksekusi pengadilan. Arbitrase akan menjadi pilihan utama untuk penyelesaian sengketa di era revolusi industri 4.0 yang dalam penyelesaian sengketa perlu kecepatan sekaligus kepastian hukum serta bisa mengakomodir multi pihak dari berbagai negara," kata dia.
Biasanya dunia hukum seperti ini identik dengan para pria. Namun wanita kelahiran Semarang ini, menyikapinya dengan biasa. "Karena dari dulu semasa bekerja di perusahaan, lingkungan kerja saya didominasi para pria. Dulu saya pernah bekerja di tambang, perkebunan, refinery, alat berat yang memang identik dengan pria," ujar ibu dengan putri tunggal ini. Berjalan kaki dalam hitungan kilometer mengitari kebun atau pabrik disiang bolong saat panas menyengat, rapat dan bekerja hingga larut malam dijalaninya dengan senang.
Di bidang hukum, dia juga berpengalaman menangani demo yang melibatkan massa. Menurut dia, pria dan wanita hanya berbeda saat di rumah. Suami dan istri berbeda secara fisik dan peran. Memang secara kodrati diciptakan demikian agar berpasangan dan saling melengkapi. Namun dalam bidang kerja perempuan dan laki-laki mempunyai ketaraan sempata. Hanya hingga saat ini ada perempuan yang masih terbelenggu dan merasa terbatas dengan perbedaan itu atau sebaliknya justru memanfaatkan perbedaan itu untuk mendapat dispensasi atau perlakuan istimewa sehingga justru menghambat karirnya.
"Perempuan kan biasa multi tasking sehingga kecerdasan intelektual dan emosi bisa lebih berimbang. Hal yang sangat dibutuhkan dalam penyelesaian perkara. O...iya, untuk arbiter tidak harus dari bidang hukum. Bisa dari teknik, asuransi, teknologi dan lain-lain bidang keahlian yang relevan dengan penanganan perkara. Walau harus memiliki pengetahuan di bidang hukum, tapi tidak wajib sarjana hukum," ujar Mediator bersertifikasi Mahkamah Agung ini.
Ketua Pusat Study CSR Universitas Bandar Lampung serta Inisiator sosiopreneur cafe dan co-working space, bengkel kreasi serta home stay Lubi.co yang dikelola para penyandang disabilitas di Lampung ini, menilai saat ini peluang bagi wanita yang ingin berkarir di bidang arbitrase sangat besar. Pesatnya teknologi informasi mendorong peningkatan kebutuhan akan arbiter yang kompeten. Sekali lagi ia mengingatkan dan kesetaraan dalam pekerjaan antara perempuan dan laki-laki. Di bidang arbitrase ia memberikan contoh beberapa tokoh perempuan Indonesia di bidang arbitrase, Ketua BANI Surabaya, Ibu Hartini, perempuan. Demikian juga Sekjen BANI, Ibu Krisnawenda.
Namun berdasarkan data masih sedikit perempuan yang menjadi arbiter. Data BANI jumlah arbiter perempuan belum mencapai 15%. "Kemudian kita lihat dari luar negeri, dari tulisan Emmy Latifah, di London tercatat 11,5% sementara Singapura di SIAC 25%. The International Chamber of Commerce (ICC) mencatat bahwa pada 2015, presentase jumlah arbiter wanita hanya sekitar 10% dari semua penunjukan dari para pihak yang bersengketa," ujar dia.
Secara umum dia melihat kiprah wanita dalam berkarir dan menduduki posisi strategis di era ini semakin banyak, terutama di perkotaan. Tapi juga tidak sedikit yang masih terbelenggu pada stigma pembatasan gender. Faktor lingkungan juga mempengaruhi.
Dia memberikan tips bagi wanita yang ingin berkarir khususnya di dunia hukum dan arbitrase untuk menguatkan kemandirian dan kemauan untuk belajar. "Kita saat ini sudah dimanjakan teknologi. Mudah sekali untuk menemukan berbagai informasi dan literatur. Banyak membaca, mengasah keahlian dibidang yang ditekuni dibarengi dengan mengasah kemampuan analytical thinking dan critical thinking serta kemandirian sangat diperlukan dalam profesi ini. Aktif mengikuti seminar, diskusi, pelatihan dan kegiatan-kegiatan terkait bidang yang diinginkan akan sangat membantu pengembangan pengetahuan. Yang tidak kalah penting, dari sisi attitude. Selalulah menjadi pribadi yang berintergritas dan dapat dipercaya," pungkas Rini. (*)
Editor: Amiruddin Sormin
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4132
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia