Waktu berjalan, dekade berganti, dan dua kata seolah menjadi identitasnya: hukum dan kebebasan. Wina bukan sekadar lulusan hukum Universitas Indonesia. Ia hukum itu sendiri—hidup, bernapas, dan berjalan.
Di ruang sidang, ia jadi ahli yang menjembatani teks dengan konteks. Dalam dunia literasi, ia menulis Wajah Hukum Pidana Pers dan puluhan buku lainnya. Tulisannya bagaikan lentera kecil di tengah simpang siur antara kebebasan dan batasan pers.
Produktivitasnya nyaris mitologis. Saya menyaksikan sendiri: dalam satu hari seminar etika pers, saat peserta baru mencatat, ia sudah menyusun kerangka buku. Sesi kedua baru mulai, bab demi bab rampung. Sore menjelang makan malam, tinggal sentuhan akhir.
“Her, sambil makan nanti saya edit, langsung saya kirim ke penerbit,” bisiknya.
Dan benar, saat kami duduk di warung malam, ia menepatinya. Saya hanya bisa menggeleng kagum—persis seperti mesin cerdas masa kini, padahal ini manusia biasa.
Namun ia tak hanya mesin kerja. Ia teman ngobrol yang cerdas dan hangat—tentang lukisan kelima Hardi yang baru dibelinya, tentang keponakannya yang melukis sejak remaja dan kini karyanya bernilai miliaran.
Ya, Wina sesungguhnya kolektor senyap. Lukisan-lukisan kelas atas tak tertampung di rumahnya yang luas. Tapi sebagai pencinta seni, ia hafal aliran, fasih bicara soal Dali dan Sudjojono, dan tetap rendah hati.
Berikan Komentar
Olahraga
346
Humaniora
601
346
04-Jul-2025
601
04-Jul-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia