Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Zionisme Israel di Ujung Nafas: Akhir yang Menantang Sejarah dan Keadilan
Lampungpro.co, 22-Jun-2025

Amiruddin Sormin 537

Share

Esai reflektif jurnalis Heri Wardoyo. LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG--Di antara desing rudal balistik dan masifnya pembalasan Iran terhadap Israel, saya teringat sejarawan Yahudi, Ilan Pappé. Dia tegak sebagai suara ganjil dari puing-puing ribuan bangunan di Tel Aviv atau Bandara Ben Gurion.

Pappé bukan penuduh dari luar. Ia anak kandung sejarah Israel yang memutuskan tidak bersekutu dengan pelupa. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Januari lalu, Pappé merumuskan seberkas kalimat yang menggema seperti pekik lonceng terakhir: "This is the last phase of Zionism." Zionisme, kata dia, meniti titik akhir hayatnya; bukan cuma karena keok dalam perang, tetapi karena kalah dalam makna.

Zionisme, sejak awal abad ke-20, lahir dari luka diaspora dan mimpi keselamatan. Namun, seperti banyak proyek kolonial pemukim lainnya, ia tumbuh bukan melalui rekonsiliasi dengan tanah dan penghuninya, melainkan lewat penghapusan dan penyangkalan.

Palestina, tanah yang tak pernah lengang, dikosongkan secara sistematis — bukan hanya dari tubuh-tubuh manusianya, tapi dari narasi sejarahnya. Pappé menyebutnya tanpa ragu: ethnic cleansing.

Sejak tragedi Nakba (pengusiran dan pengungsian massal warga Palestina selama Perang Arab-Israel 1948) hingga kini, proyek Zionis bergantung pada satu mesin: pengusiran yang disamarkan sebagai keamanan, pendudukan yang dijustifikasi sebagai hak Ilahi.

Kini, mesin itu berkarat. Di internal Israel sendiri, jurang sosial dan ideologis menganga. Polarisasi politik menajam, demokrasi menipis, dan wajah negara yang dulu dielu-elukan sebagai “oasis demokrasi di Timur Tengah” berubah menjadi entitas militeristik yang mulai diisolasi dunia. Seperti kata Samuel Huntington dalam teori political decay, ketika institusi gagal beradaptasi dengan realitas sosial yang berubah, pembusukan politik menjadi keniscayaan. Francis Fukuyama menyebutnya political rot, atau kematian lambat dari sistem yang tak lagi punya kemampuan memperbarui dirinya.

Dan inilah yang dikatakan Pappé: Zionisme hari ini bukan sekadar gagal menjawab tantangan zaman, tapi telah menjelma sebagai beban sejarah yang terus-menerus mengikis fondasi etik negara itu sendiri. “Ini bukan lagi gerakan pembebasan,” kata Pappé, “melainkan proyek kolonial yang kian kehilangan topengnya.” Dalam perumpamaan yang lebih tajam: rot from within, pembusukan dari dalam.

Pappé tak hanya menawarkan autopsi. Ia juga membuka jendela menuju angin baru; sirkulasi yang menyegarkan kemanusiaan. Ia menyerukan satu negara demokratis, bukan dua negara yang absurd, bukan status quo yang mencekik. Bagi Pappé, solusi bukanlah sebatas penataan ulang batas, melainkan penataan ulang imajinasi moral: satu tanah, dua bangsa, dan satu hak yang setara untuk semua. Paradigma ini bukan sekadar visi politik, tapi lompatan spiritual. Ia memerlukan keberanian mencintai yang dulu dianggap musuh, dan kejujuran mengakui luka yang pernah disangkal.

#
1 2 3

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved