Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Anak Singkong Bernasib Singkong
Lampungpro.co, 28-Jan-2017

Amiruddin Sormin 1584

Share

Cerita singkong di Lampung cuma bagus di angka-angka statistik. Julukannya, provinsi penghasil singkong nomor wahid di Nusantara. Tapi angka-angka itu dalam setahun terakhir berbalut duka dan tangis petani.

Sempat digadang-gadang bakal menjadi provinsi dengan julukan 'Lampung sumber energi terbarukan nasional', nasib singkong cuma berakhir di pabrik tapioka dan ethanol. Angan-angan menjadikannya bioethanol, terantuk impor bahan bakar minyak (BBM) fosil yang lebih menggiurkan. Buat apa bikin bioethanol, cukup bermodal ludah dan secarik kertas, mari buang devisa jadi asap.

Jutaan petani Lampung pun tiba-tiba menganga ketika harga singkong yang lama bertengger di kisaran Rp1.100/kg terjun bebas hingga titik nadir Rp300/kg. Untuk merangkak ke Rp700/kg pun harus lewat unjuk rasa, meski kenyataanya di lapak cuma Rp500/kg.

Semua pun bertanya. Ini ulah siapa? Tak mungkin bertanya pada rumput yang bergoyang, karena goyangan rumput pun kini susah ditebak. Ini bukan persoalan perdagangan semata. Menyerahkannya semata kepada mekanisme pasar, itu makin membenarkan ini negara autopilot. Harga cabai naik, ya jangan makan cabai. Harga beras naik, puasalah Senin Kami. Harga singkong naik ya jangan tanam singkong.

Lalu dimana Nawacita yang posternya terpampang di berbagai kantor pemerintah? Dimana slogan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara? Dan dimana cita membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa?

Tak perlu ada yang diratapi karena petani juga tak minta diratapi. Mereka hanya ingin pemerintah berpihak dan jangan menyerahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Tentu saja harga tepung tapioka eks Vietnam yang banyak masuk pasar Indonesia takkan mungkin bersaing dengan tepung tapioka Lampung. Bagaimana mungkin Vietnam yang lebih jauh dari Lampung, tapi tapiokanya lebih murah Rp1.000/kg ketika sampai di Surabaya. Ini fakta, bukan data statistik.

Ketika harga singkong anjlok, Lampung harus rela menerima kenyataan kembali menjadi provinsi termiskin ketiga di Sumatera. Tak perlu menyalahkan sektor pertanian yang menjadi penyumbang pendapatan domestik rata-rata bruto (PDRB) terbesar sebagai biang keladi pembuat catatan ekonomi Lampung anjlok. Tuhan memberikan Lampung tanah subur, bukan bahan tambang yang berlimpah. Itu artinya, jangan pernah sedetik pun luput memperhatikan pertanian.

Jelas ini bukan persoalan perdagangan semata dan menunjukkan kita tidak siap menghadapi era perdagangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Proses produksi dari hulu hingga hilir belum efisien dan penuh dengan pungutan liar (pungli). Semuanya bermuara pada ekonomi biaya tinggi. Sudah seriuskah kita?

Tabik puunnnn....


AMIRUDDIN SORMIN
Wartawan Utama

 

 

 

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
TPA Sampah Bakung Disegel, Pemkot Bandar Lampung...

Pemkot Bandar Lampung tak perlu cari TPA baru sebagai...

486


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved