Tabik puuunnn…
Kota Bandar Lampung hari ini Selasa 17 Juni 2025, merayakan hari jadi ke-343. Namun di balik gegap gempita peringatan hari jadi ibu kota Provinsi Lampung ini, ada ironi yang tak kunjung terselesaikan: matinya sistem transportasi umum dan kian mahalnya biaya mobilitas warga.
Bayangkan sebuah kota Metropolitan yang berkembang pesat, namun tidak menyediakan moda transportasi massal layak, terjangkau, dan berkelanjutan. Di Bandar Lampung, pemandangan warga berjalan kaki di tengah terik, atau berebut angkutan online dengan tarif membengkak saat jam sibuk, sudah menjadi rutinitas harian.
Alih-alih dibantu dengan angkutan publik yang nyaman, warga justru terpaksa menjadi “pengemudi” bagi dirinya sendiri. Jalanan pun berubah menjadi lautan kendaraan pribadi, mengular dari Tanjungkarang ke Telukbetung Batak Rajabasa ke Kemiling. Volume kendaraan terus naik, namun panjang jalan tetap stagnan.
Menurut data Samsat Lampung per Juni 2025, jumlah kendaraan di Bandar Lampung telah menembus 850 ribu unit. Ironisnya, tidak ada satu pun angkutan massal yang disubsidi secara serius oleh Pemerintah Kota. Bus Trans Bandar Lampung tinggal nama. Angkot pun perlahan hilang dari trayek karena kalah bersaing dengan ojek dan taksi daring yang tidak ramah kantong.
Akibatnya? Warga terjerat dalam lingkaran setan mobilitas mahal. Jika tidak punya kendaraan pribadi, maka harus membayar Rp20 ribu-Rp40 ribu sekali jalan menggunakan jasa ojek daring. Kalikan dua untuk pulang pergi, kalikan 26 hari kerja. Ratusan ribu rupiah habis setiap bulan hanya untuk berpindah tempat, bahkan bagi mereka yang berpenghasilan di bawah UMR.
Ini bukan hanya soal ketidaknyamanan, melainkan pelanggaran hak atas mobilitas yang setara. Di negara-negara maju, transportasi umum adalah tulang punggung kota. Di Bandar Lampung, ia justru dikubur dalam diam.
Pemerintah kota tampak lebih tertarik membangun taman dan flyover, ketimbang mereformasi sistem angkutan massal. Padahal flyover tanpa transportasi umum hanyalah penunda kemacetan.
Tengok saja pada jam-jam sibuk: ruas Jalan Zainal Abidin Pagaralam, Antasari, dan Sultan Agung, Jalan Kartini, Jalan Radin Inten, macet total. Laju kendaraan tersendat bahkan sebelum pukul 7 pagi. Ini bukan sekadar masalah volume, tapi cermin dari absennya pilihan moda yang efisien.
Solusinya? Bukan sekadar menambah jalan atau menertibkan parkir, melainkan keberanian politik untuk merevitalisasi transportasi umum. Pemerintah Kota harus berani mengalokasikan APBD untuk pengadaan armada bus modern, membangun halte layak, dan menyediakan subsidi tarif bagi warga miskin.
Kemitraan pemerintah dengan swasta dan BUMN seperti Damri juga bisa dioptimalkan untuk membangun jaringan bus listrik berbasis digital. Sementara itu, integrasi antar moda dan penataan ulang trayek angkot perlu dirancang ulang agar lebih adaptif terhadap permintaan warga.
Tak kalah penting, trotoar yang kini jadi lapak PKL atau tempat parkir liar harus dikembalikan fungsinya. Kota layak huni adalah kota yang memuliakan pejalan kaki dan pengguna angkutan umum, bukan mereka yang paling banyak asap kendaraannya.
Bandar Lampung tak kekurangan dana, tapi mungkin kekurangan visi. Di ulang tahun ke-343 ini, sudah saatnya Pemkot mengubah cara pandang: mobilitas adalah hak, bukan kemewahan. Transportasi publik bukan beban, tapi investasi sosial. Dan warga, berhak hidup di kota yang tidak memaksa mereka menjadi supir setiap hari. (***)
Salam,
#Amiruddin Sormin (jurnalis dan editor Lampungpro.co, warga Bandar Lampung)
Berikan Komentar
Lampung Selatan
343
Lampung Selatan
2436
140
17-Jun-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia