RAWAJITU TIMUR (Lampungpro.co):
Kesuksesan Donald (56), petambak Kampung Bumi Dipasena Agung, Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, memanen 2,7 ton udang vanamei dari dua kolam tambaknya, Sabtu (31/5/2025), membuka mata bahwa masih ada asa kehidupan di Bumi Dipasena. Donald memang menjadi minoritas dari ribuan cerita sedih petambak yang gagal.
Menurut catatan, kini tinggal 10% petambak yang masih sukses panen. Tapi Donald menjadi bukti bahwa masih ada asa bangkit dari Bumi Dipasena. Trik dan cara Donald membudidayakan udang menjadi modal berharga agar Dipasena kembali bangkit menjadi raja udang nasional.
Ini mirip semangat Jepang ketika luluh lantak setelah dihantam bom nuklir Amerika Serikat. Setelah bom Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Jepang Hirohito bertanya berapa banyak guru tersisa di Jepang, bukan berapa banyak tentara yang gugur.
Kaisar Hirohito kemudian memberikan arahan kepada sekitar 45.000 guru tersisa untuk berperan dalam pembangunan kembali Jepang. Kaisar Hirohito juga menyatakan bahwa Jepang harus banyak belajar untuk mengejar ketertinggalan dari Amerika.
Dengan pertanyaan serupa, kita boleh bertanya ke Dipasena, masih berapa banyak petambak yang punya ilmu seperti Donald dan berapa banyak yang masih semangat seperti Donald. Mereka laksana guru seperti yang dimaksud Kaisar Hirohito untuk membangkitkan Dipasena.
Berkaca ke belakang, kini memang Dipasena terpuruk jauh. Bumi Dipasena, Lampung, pernah menjadi ikon kejayaan budidaya udang di Indonesia. Namun, perjalanan panjang kawasan ini tak lepas dari berbagai konflik dan tantangan yang mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya hingga kini.
Pada 1990-an, Bumi Dipasena dikenal sebagai kawasan tambak udang terbesar di Asia Tenggara dengan luas mencapai 16.250 hektare. Produksi udang vaname saat itu mencapai rata-rata 200 ton per hari, menjadikannya kontributor utama dalam ekspor udang nasional.
Namun, model kemitraan inti-plasma yang diterapkan oleh perusahaan pengelola menimbulkan ketidakpuasan di kalangan petambak. Banyak petambak merasa dirugikan secara finansial dan sosial, memicu konflik berkepanjangan.
Akibatnya, sebagian petambak memilih untuk mandiri, sementara lainnya menghadapi kesulitan dalam mengelola tambak mereka.
Saat ini, dari total luas tambak 16.250 hektare, sekitar 6.800 hektare merupakan lahan pertambakan mandiri dengan sertifikat hak milik. Sisanya adalah lahan perusahaan dengan hak guna usaha. Jumlah petambak aktif mencapai sekitar 6.500 keluarga.
Namun demikian, produksi udang mengalami penurunan drastis. Jika sebelumnya mencapai 80–100 ton per hari, kini hanya berkisar antara 5–10 ton per hari. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk serangan penyakit dan infrastruktur yang kurang memadai.
Tantangan yang dihadapi petambak antara lain penyakit seperti Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND), White Spot Syndrome Virus (WSSV), dan Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) yang menjadi ancaman serius bagi budidaya udang di Dipasena. Serangan penyakit ini menyebabkan kematian massal pada udang, mengakibatkan kerugian besar bagi petambak.
Sebenarnya, pemerintah dan berbagai pihak terkait berupaya melakukan revitalisasi tambak udang di Bumi Dipasena. Program bantuan benur, perbaikan infrastruktur, dan pelatihan bagi petambak diharapkan dapat meningkatkan kembali produksi udang dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, tantangan masih banyak. Tapi bukan berarti Dipasena tidak bisa bangkit. Ya, Dipasena masih memiliki potensi besar untuk bangkit kembali sebagai salah satu produsen udang nasional.
Hal itu bergantung pada sejumlah faktor penting yang harus ditangani secara serius dan kolaboratif oleh pemerintah, swasta, dan komunitas petambak sendiri.
Potensi kebangkitan Dipasena antara lain karena luas lahan tambak yang masih signifikan. Dari total 16.250 hektare, setidaknya 6.800 hektare masih aktif digunakan oleh sekitar 6.500 petambak. Ini merupakan basis produksi yang sangat besar jika dikelola dengan baik.
Kemudian, para petambak Dipasena memiliki warisan keahlian budidaya sejak era kejayaan pada 1990-an. Ini merupakan modal sosial dan pengetahuan yang tak bisa diabaikan.
Lalu, pemerintah mulai menunjukkan kepedulian melalui bantuan benur, infrastruktur, dan pelatihan. Bila diperluas dan dikawal dengan pendampingan teknis serta akses pembiayaan, peluang bangkit akan meningkat.
Di sisi lain, permintaan ekspor udang vanamei dari Indonesia tetap tinggi, terutama dari negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Dipasena bisa menjadi salah satu pilar untuk memenuhi pasar ini.
Untuk itu, segenap insan Dipasena bersama pemerintah dan pemangku kepentingan harus kompak mengatasi dan memperbaiki banyaknya saluran irigasi, jalan, dan pintu air yang rusak sejak konflik masa lalu. Perlu revitalisasi infrastruktur tambak secara menyeluruh.
Kompak mengatasi penyakit seperti AHPND dan WSSV yang menyebabkan kematian udang secara massal. Tanpa sistem biosekuriti dan mitigasi penyakit, hasil budidaya akan terus rendah.
Bersama mengatasi masalah klasik permodalan, karena sebagian besar petambak masih kesulitan mendapatkan akses permodalan untuk membeli benur, pakan, dan sarana produksi lainnya. Tak kalah penting, konflik inti-plasma menyisakan polemik hukum atas status lahan dan aset tambak. Kepastian hukum harus dipulihkan agar ada kejelasan hak kelola dan investasi.
Syarat Kebangkitan Dipasena
Revitalisasi Infrastruktur jalan, kanal air, dan tanggul tambak harus diperbaiki.Akses kredit Mikro Khusus Petambak Perlu skema pembiayaan ramah petambak melalui KUR atau koperasi berbasis desa.
Manajemen biosekuriti standar operasional untuk pencegahan penyakit dan laboratorium uji penyakit perlu diperkuat.Kemitraan baru yang adil jika kembali ke pola kemitraan, harus berbasis keadilan dan transparansi.
Digitalisasi produksi dengan menggunakan sistem monitoring berbasis sensor dan teknologi e-fishery bisa mendorong efisiensi. Last but not least, Dipasena bisa bangkit kembali sebagai produsen udang nasional.
Bahkan, menjadi pusat budidaya udang modern berbasis rakyat terbesar di Asia jika mendapat dukungan penuh dalam bentuk kebijakan terpadu lintas sektor, pembenahan infrastruktur dan lingkungan tambak, serta kemitraan adil berbasis pemberdayaan petambak.
Masih ada asa lain, ada skema Koperasi Merah Putih yang bisa mendapatkan modal kerja hingga Rp3 miliar dari Danantara, jika ada proposal dan disetujui. Jadi, kebangkitan Dipasena bukan hanya tentang udang, tapi tentang martabat dan masa depan ribuan keluarga petambak yang menggantungkan hidupnya di Dipasena. (***)
Penulis: Amiruddin Sormin (Wartawan Utama dan Pemimpin Redaksi Lampungpro.co)
#Berikan Komentar
Bandar Lampung
357
Olahraga
375
234
06-Jun-2025
242
06-Jun-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia