BANDAR LAMPUNG, (Lampungpro.co):
Lampung sebagai produsen singkong terbesar nasional menyumbang lebih dari 51 persen dari total produksi Indonesia atau sekitar 7,5 juta ton pada 2024. Namun sebagian besar masih dijual sebagai bahan mentah dengan nilai tambah yang rendah.
Perputaran uang budidaya singkong di tingkat petani diperkirakan mencapai Rp10,1 triliun per musim tanam berdasarkan harga dasar Rp1.350 per kilogram sesuai Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025. Praktisi singkong Helmi Hasanuddin menyebut nilai tersebut belum mencerminkan potensi maksimal jika hilirisasi digarap serius.
“Selama ini kita hanya jadi lumbung bahan baku, bukan pusat industri singkong,” ujar Helmi Hasanuddin saat diwawancarai Lampungpro.co di Sekretariat MSI, Ruko Transmart Bandar Lampung, Jumat (28/6/2025). Menurutnya, peluang besar terbuka bagi investor untuk mengembangkan industri olahan berbasis singkong.
Salah satu potensi hilirisasi paling prospektif adalah mocaf atau tepung singkong termodifikasi yang bisa menggantikan tepung terigu impor. Dari studi kelompok tani wanita di Bandar Lampung, mocaf menghasilkan margin tambahan sekitar Rp3.600 per kilogram atau 20 persen nilai tambah.
“Kalau pabrik mocaf dibangun di sentra-sentra petani, petani tidak cuma jual umbi mentah tapi ikut dalam ekosistem bisnis,” jelas Helmi. Ia menambahkan, dengan skala investasi menengah, sektor ini cocok dikelola oleh koperasi atau pelaku UMKM.
Potensi lain yang sangat menjanjikan adalah pengolahan limbah singkong menjadi energi seperti biogas dan CNG. dan green energy di Lampung sudah membuktikan bahwa 3.000 ton limbah cair tapioka bisa dikonversi menjadi energi listrik yang disalurkan ke jaringan PLN sejak 2021.
“Ini bukan sekadar gagasan, tapi sudah jalan dan terbukti, tinggal diperbanyak pabriknya,” ujar Helmi. Menurutnya, sektor ini layak dikerjakan investor energi ramah lingkungan yang ingin mengakses skema carbon credit atau pendanaan hijau.
Produk olahan turunan singkong seperti mie instan singkong, glukosa, gula cair, dan asam sitrat juga sudah mulai dikembangkan oleh Pemprov Lampung. Produk-produk tersebut punya peluang besar ekspor dan menjadi substitusi impor di pasar industri makanan dan farmasi.
Di tingkat desa, MSI mendorong pembangunan sentra pengolahan singkong kecil yang bisa dikelola koperasi dan BUMDes. “Kalau desa bisa produksi sendiri, rantai pasok akan lebih pendek dan petani mendapat harga lebih baik,” kata Helmi.
Namun ia menilai, hilirisasi belum optimal karena belum ada standardisasi nasional soal kadar pati, rafaksi, dan harga di tingkat petani. Untuk itu, MSI merekomendasikan percepatan kebijakan nasional soal mutu dan harga serta dukungan infrastruktur pabrik kecil di sentra petani.
“Pemerintah sudah punya niat baik, tinggal mendorong lebih konkret agar investor yakin dan petani tidak hanya jadi penonton,” pungkas Helmi. Menurutnya, Lampung punya semua modal untuk jadi pusat hilirisasi singkong Indonesia—tinggal kolaborasi dan keberanian eksekusi. (***)
Editor: Amiruddin Sormin Laporan: Tim Lampungpro.co
Berikan Komentar
Bandar Lampung
890
Jalan Jalan
435
265
27-Jun-2025
284
27-Jun-2025
231
27-Jun-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia