Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Perjuangan Tanpa Lelah Gubernur Mirza Benahi Carut-Marut Tata Niaga Singkong di Lampung, ini Solusinya
Lampungpro.co, 27-Jun-2025

Amiruddin Sormin 510

Share

Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal saat menyuarakan pembenahan tata niaga singkong dalam RDP bersama Baleg DPR RI, Rabu (25/6/2025), di Jakarta | FOTO: DOK. PEMPROV LAMPUNG

JAKARTA (Lampungpro.co): Gejolak tata niaga singkong di Provinsi Lampung tidak muncul tiba-tiba. Sejak awal 2024, gelombang unjuk rasa petani mengguncang kantor pemerintahan daerah dan pabrik-pabrik tapioka. Mereka menuntut keadilan harga, transparansi rafaksi, dan penghapusan praktik manipulasi alat ukur kadar pati.

Kondisi ini menjadi potret suram dari sistem perdagangan singkong yang timpang: petani berproduksi dengan biaya tinggi, namun dihargai murah, sementara industri mendapat bahan baku tanpa jaminan kualitas, namun tetap memaksakan rafaksi sepihak. Ketidakjelasan regulasi, lemahnya pengawasan, serta ketidakseimbangan posisi tawar menjadi akar masalah yang menahun.

Di tengah situasi inilah, Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, tampil menjadi suara utama daerah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (25/6/2025), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta. Dalam forum pembahasan RUU Komoditas Strategis itu, Gubernur Mirza secara lugas menyuarakan perjuangan petani singkong dan kepentingan industri dalam negeri yang kian tergerus oleh produk impor murah.

"Singkong adalah komoditas strategis karena menjadi bahan baku utama industri tapioka, namun Indonesia belum menjadi pemain utama produk turunannya," tegas Gubernur Mirza di hadapan anggota dewan dan kementerian terkait.

Gubernur Mirza menjelaskan, 95 persen produksi singkong di Lampung masuk ke industri. Namun kadar pati di tingkat petani rata-rata hanya 18–20 persen—di bawah standar industri.

Akibatnya, rafaksi yang dikenakan seringkali melebihi 20 persen tanpa kejelasan penghitungan. Tak hanya itu, harga jual singkong petani kerap jatuh hingga di bawah Rp1.000/kg, sementara biaya produksi terus naik akibat minimnya subsidi.

Sementara itu, industri tapioka lokal terpukul oleh masuknya produk impor dari Thailand dengan harga hanya Rp6.000/kg. Jauh di bawah biaya produksi lokal yang mencapai Rp7.500–Rp8.000/kg.

Solusi dari Lampung:

#
1 2 3

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved