Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Opini : Informasi Publik Harus Berdampak, Saatnya Pemerintah Ubah Gaya Komunikasi
Lampungpro.co, 07-Aug-2025

Sandy 1951

Share

Dosen Polinela Eling Wening Pangestu, S.I.Kom., M.A. | LAMPUNGPRO.CO

Opini Publik Based on Research
Eling Wening Pangestu, S.I.Kom., M.A.
Dosen Program Studi Produksi Media Politeknik Negeri Lampung

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co) : Di era digital yang terus berkembang, penyampaian informasi oleh lembaga publik tidak lagi bisa dipahami hanya sebagai proses satu arah. Masyarakat kini memiliki ekspektasi tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas, sehingga informasi mengenai program-program pemerintah dituntut hadir dalam bentuk yang lebih kontekstual, partisipatif, dan berdampak.

Seperti disampaikan oleh Lidén dan Rosén dalam jurnal Information Polity (2018), akses terhadap informasi menjadi pilar penting demokrasi modern karena mampu memperkuat posisi warga dalam pengambilan keputusan publik.

Namun dalam praktiknya, kualitas produksi dan distribusi konten kebijakan oleh lembaga pemerintah masih belum merata. Banyak ditemukan perbedaan dalam gaya penyampaian, struktur narasi, hingga format visual yang digunakan. Akibatnya, kepercayaan publik menurun dan pemahaman warga terhadap kebijakan negara menjadi terbatas.

Kajian oleh Džemić dkk. (2019) menunjukkan bahwa ketiadaan standardisasi konten dalam komunikasi pemerintahan dapat memunculkan kesenjangan informasi, terutama dalam sistem pemerintahan multilevel seperti di Indonesia.

Oleh karena itu, konten publik idealnya bersifat formal namun tidak kaku. Penggunaan jargon berlebihan perlu dihindari tanpa harus mengorbankan ketepatan istilah atau meniru gaya populer yang dangkal. Konten pemerintah harus bisa menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan terdidik hingga komunitas rentan, melalui narasi yang relevan, visual yang inklusif, serta bahasa yang bersahabat namun tetap akurat secara institusional.

Standardisasi konten bukan sekadar penyeragaman bentuk atau tampilan. Dalam pandangan Craig dan Cunningham (2019) dalam kerangka social media entertainment, konten publik merupakan jembatan antara institusi dan warga, dan karena itu harus dikelola dengan prinsip tata kelola informasi yang baik, termasuk konsistensi, akurasi, dan keterbukaan.

Dalam konteks ini, standardisasi dapat dimaknai sebagai seperangkat norma teknis dan etis yang mengatur cara penyusunan, pengemasan, dan penyampaian informasi publik kepada masyarakat secara konsisten dan bertanggung jawab.

Moore (1995), dalam bukunya Creating Public Value, menekankan bahwa konten pemerintah baru akan menciptakan nilai publik bila dibangun dengan strategi komunikasi yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kebermanfaatan sosial. Ia menyebut lima prinsip utama yang seharusnya menjadi panduan, yakni: integritas informasi, struktur narasi yang sistematis, aksesibilitas universal, kohesi simbolik dalam representasi negara, serta pengarsipan digital yang dapat diverifikasi.

Norma-norma ini diperkuat dengan standar internasional seperti ISO/IEC 82079-1:2019 yang menekankan pentingnya information for use, serta ISO 26000:2010 yang menyoroti tanggung jawab sosial dalam penyampaian informasi publik.

Dalam distribusi konten digital, dua metrik utama—reach dan impressions—menjadi indikator penting untuk menilai efektivitas jangkauan informasi. Mui dan Lim (2023) menjelaskan bahwa reach mengacu pada jumlah orang unik yang melihat konten, sedangkan impressions mencakup total tayangan, termasuk pengulangan.

Sayangnya, masih sedikit lembaga yang secara konsisten memantau dua metrik ini dalam evaluasi kinerja komunikasinya, padahal keduanya sangat penting untuk mengetahui seberapa luas pesan tersampaikan.

Penelitian juga menunjukkan perbedaan performa antar platform media sosial. Studi Bishqemi dan Crowley (2022) menyebutkan bahwa algoritma TikTok lebih efektif menjangkau audiens yang tepat dibandingkan Instagram, bahkan dalam distribusi konten yang sepenuhnya organik.

Penelitian Wulandari dkk. (2025) menguatkan hal tersebut melalui studi kasus UMKM Indonesia. Hasilnya, TikTok mencatat rata-rata 833 tayangan per hari, lebih tinggi dibandingkan Instagram yang mencatat 499 tayangan—meskipun dari sisi interaksi, Instagram unggul karena frekuensi unggahan yang lebih tinggi.

Facebook dan Twitter (kini X) menunjukkan dinamika berbeda. Meski Facebook memiliki pengguna terbanyak di Indonesia, jangkauan organiknya menurun akibat perubahan algoritma. Sebaliknya, akun Twitter milik institusi pemerintah kerap mendapatkan impressions tinggi, terutama saat krisis atau pengumuman penting terjadi, sebagaimana dicatat dalam riset Ernungtyas dkk. (2024).

Selain platform, jenis akun juga memengaruhi efektivitas komunikasi. Wulandari dkk. menemukan bahwa micro-influencer—akun dengan 1.000 hingga 100.000 pengikut—menunjukkan tingkat keterlibatan yang jauh lebih tinggi dibanding mega-influencer. Artinya, pendekatan berbasis komunitas atau niche bisa lebih efektif dalam menjangkau dan memengaruhi publik dibanding hanya mengandalkan akun besar.

Lalu bagaimana dengan akun-akun pemerintah? Riset menunjukkan bahwa akun resmi lembaga seperti @kemenkominfo tetap memiliki potensi besar menjangkau masyarakat luas, terutama saat menyampaikan informasi penting seperti beasiswa atau kebijakan kesehatan. Namun, tantangan utama adalah bagaimana membuat konten tersebut tetap relevan, inklusif, dan mudah dipahami oleh semua kalangan.

Tulisan ini disusun melalui pendekatan rapid review terhadap literatur akademik dari tahun 2015–2025. Analisis dilakukan terhadap sumber-sumber dari pangkalan data terkemuka seperti Scopus, JSTOR, dan IEEE Xplore, serta 23 panduan komunikasi digital dari kementerian dan lembaga di Indonesia. Referensi juga mencakup standar internasional seperti ISO/IEC 27001:2022, prinsip aksesibilitas WCAG 2.2, serta kaidah jurnalisme positif.

Dengan memadukan teori akademik dan praktik birokrasi, tulisan ini menegaskan pentingnya membangun sistem komunikasi publik yang terstruktur, terdokumentasi, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam dunia digital yang sarat distraksi, kekuatan informasi tidak lagi diukur dari banyaknya pesan, tetapi dari kualitas penyampaiannya serta dampak yang ditimbulkan bagi warga negara.

Ke depan, konten publik yang ideal harus mampu berfungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan di sini bersifat konkret: warga bisa memahami program pemerintah, menilai manfaatnya secara kritis, dan membuat keputusan yang berdampak langsung bagi kehidupan mereka.

Misalnya, konten mengenai layanan sosial tidak cukup hanya menyertakan tautan pendaftaran, tetapi juga perlu dilengkapi penjelasan bergambar, tersedia dalam bahasa daerah, dan dilengkapi jalur aduan yang responsif.

https://bpjslampung.org/

Begitu pula, kampanye di bidang kesehatan atau pendidikan bisa menjadi alat transformasi sosial bila disajikan dengan visual inklusif, disebarluaskan lewat kanal yang sesuai dengan karakteristik audiens, dan dibarengi dengan ruang partisipasi nyata—seperti survei warga, forum diskusi daring, atau kolaborasi komunitas.

Dengan demikian, konten publik yang efektif dan etis bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana menuju masyarakat yang lebih terinformasi, lebih kritis, dan lebih berdaya dalam menentukan arah masa depannya. (***)
Editor : Sandy,

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
Sampai Kapan Pasien di Lampung Dicekoki Obat...

Tanpa alternatif pengobatan yang beragam, pasien di Lampung akan...

4382


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved