Tabik puunnnn
Saya belum pernah menyaksikan sebuah patung bisa menyita perhatian publik secara luas di jagat maya seperti Tugu Patung Biawak, Desa Krasak, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Seolah tak ingin luput dari pusaran trending topic, netizen di Lampung pun ikut-ikutan posting patung karya seniman Rejo Arianto, karena dinilai memiliki tampilan mirip biawak sungguhan.
Para netizen Lampung pun mengunggah foto Tugu Biawak itu bersanding dengan Tugu Gajah Barbel di Pringsewu, Tugu Udang di Tulang Bawang, dan Tugu Badik di Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan. Apakah tidak ada tugu yang menyita perhatian publik di Lampung?
Tentu ada, tapi sayangnya disorot miring dan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebut saja, Tugu Pagoda di Telukbetung Selatan Bandar Lampung yang diprotes warga karena bukan kearifan lokal Lampung. Kemudian, pernah juga ada tugu gajah sebagai pembatas Metro-Lampung Timur di Pekalongan yang dinilai mirip tikus karena kurus kering. Saking ngak miripnya, para pengelola Pusat Latihan Gajah, Taman Nasional Way Kambas, sampai bilang patung itu bukan gajah Lampung yang gembul-gembul.
Tugu Biawak Wonosobo jadi trending topic bukan hanya karena mirip. Tapi hadir saat masyarakat geram dengan skandal pembangunan tugu-tugu yang dinilai cuma proyek. Misalnya, tugu penyu di Sukabumi, Jawa Barat, bernilai Rp15 miliar yang ternyata cuma berbahan kardus.
Tugu Biawak Wonosobo seolah menjawab untuk menciptakan ikon tak perlu menguras duit rakyat miliaran. Ternyata cukup Rp50 juta dan tanpa dana APBD, sebuah ikon lahir dan membawa berkah ekonomi bagi warga sekitar.
Tugu Biawak kini menjadi referensi untuk mengkritisi pembangunan tugu di berbagai daerah. Ternyata ikon wisata bisa tercipta dengan biaya murah dan berdasarkan kearifan lokal.
Ingatan saya pun melesat ke Brussels Belgia, tepatnya di Grand-place de Bruxelles atau alun-alun Kota Brussel, Belgia . Saya teringat sesosok patung anak kecil kencing bernama Mannaken Pis. Ini ikon Kota Brussels yang wajib didatangi pelancong saat berwisata ke negara asal pesepakbola Radja Nainggolan itu.
Saking terkenalnya, Kedutaan Besar RI (KBRI) bahkan sampai dua kali memakai jasa patung bocah pipis ini untuk mempromosikan pariwisata Indonesia. Caranya, memakaikan pakaian adat Lampung Tulang Bawang ke boneka tersebut.
Pertama pada 18 Agustus 2008 yang kebetulan saya hadir langsung menyaksikannya di Brussels. Kedua, pada perayaan peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Belgia, Selasa (17/9/2024).
Dari dua momen itu, saya bergumam, siapa bilang kearifan lokal Lampung tak bisa mendunia? Dari dua kali busana adat Lampung di Mannaken Pis, ternyata kita tak perlu mencari kearifan bangsa lain dalam menjual pariwisata Lampung.
Mannaken Pis dan Tugu Biawak mengajarkan kita bahwa kearifan lokal juga bisa jadi ikon. Syaratnya, berada di tangan yang tepat dan niat tulus, bukan niat fulus.
Pariwisata memang butuh ikon, tapi tak harus menimbulkan keriuhan di masyarakat. Tugu Biawak dan Mannaken Pis mengajarkan kita tentang teori marketing bahwa produk yang baik akan menjual dirinya sendiri. (***)
Salam,
Amiruddin Sormin (Wartawan Utama)
Berikan Komentar
Pariwisata memang butuh ikon, tapi tak harus menimbulkan keriuhan...
486
Nasional
12324
EKBIS
4248
Lampung Tengah
3407
283
07-May-2025
379
07-May-2025
305
07-May-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia