Apa yang tidak dibikinkan kartu di Republik ini. Semua serba kartu. Ganti rezim ganti kartu. Mulai dari urusan pupuk, sembako, berobat, beli buku, hingga ingin pintar pun di Republik ini harus pakai kartu. Saya khawatir nanti ada yang salah menyebut NKRI itu menjadi Negara Kartu Republik Indonesia.

Namanya macam-macam. Ada Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Tani, Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Pintar, Kartu BPJS Kesehatan, Kartu BPJS Ketenagakerjaan, dan yang paling menghebohkan adalan Kartu Tanda Penduduk berlabel elektronik alias E-KTP.

Tampaknya, kartu bukan lagi sekedar alat transaksi. Tapi bukti sebuah rezim hadir di tengah masyarakat.� Tak aneh jika kampanye Pemilihan Kepala Daerah di Lampung pun ikut-ikutan bagi-bagi kartu dengan iming-iming bisa dipakai untuk ini itu.

Lebih serem lagi saat kartu jadi bancakan proyek. Semua terseret-seret mulai mantan Ketua DPR RI Setya Novanto hingga Juri, sopir ekspedisi yang membuat tercecer 6.000 lebih KTP eletronik di kawasan Depok dan Salabenda, Bogor, Jawa Barat, mendadak ngetop.

Tampaknya kutukan aneka kartu ini belum akan berakhir. Persoalan besar masih menganga. Cita-cita single identity yang ingin membuat simpel urusan administrasi kependudukan dan satu kartu untuk semua kebutuhan masih jauh dari harapan.�

Alih-alih ingin serba elektronik, yang muncul adalah isu KTP ganda yang satu nomor induk kependudukan (NIK) bisa dicetak untuk lebih dari satu orang. Urusannya bukan jadi simpel tapi malah jadi ruwet. Isunya bukan lagi salah cetak, tapi mengarah pada Pemilihan Presiden 2019.

Kartu-kartu itu akan baik ketika dikelola orang baik dan sistem yang baik. Rakyat sesungguhnya tidak butuh aneka kartu itu, kerinduan mereka adalah hadirnya sistem dan orang-orang baik di tengah mereka.

Tabik puuunnnn....

�

Amiruddin Sormin
Wartawan Utama