BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co Setiap bulan, jutaan pelanggan telekomunikasi di Indonesia menyisakan kuota internet yang tidak sempat terpakai. Kuota tersebut hangus, hilang begitu saja karena melewati masa aktif, meski jumlahnya masih banyak.
Ironisnya, ini bukan murni akibat kelalaian pengguna—melainkan buah dari sistem paket yang dirancang sedemikian rupa agar kuota terbagi-bagi ke dalam banyak kanal tak relevan: media sosial tertentu, aplikasi khusus, kuota malam, atau akses yang hanya aktif dalam jam tertentu.
Modus ini seperti membeli kucing dalam karung. Pelanggan seolah diberi banyak, padahal tak benar-benar bisa memakai kuota secara bebas sesuai kebutuhan. Begitu masa aktif habis, sisa kuota pun lenyap tanpa bisa diuangkan kembali atau dikompensasi, padahal telah dibayar lunas di muka. Ini adalah bentuk praktik manipulatif dan tidak transparan yang menempatkan konsumen sebagai objek keuntungan sepihak oleh operator.
Laporan berbagai lembaga konsumen dan pengamat telekomunikasi menyebut, kerugian ekonomi akibat kuota hangus ini diperkirakan mencapai Rp63 triliun per tahun secara nasional. Angka ini diambil dari estimasi rata-rata sisa kuota yang tidak terpakai dari total pengguna aktif lebih dari 200 juta pelanggan seluler di Indonesia.
Jika diasumsikan setidaknya Rp25 ribu per pelanggan hilang setiap bulan akibat kuota yang tidak bisa digunakan, maka potensi kerugiannya mencapai angka Angka ini bahkan belum memperhitungkan efek psikologis dan biaya opportunity loss (kehilangan manfaat) yang dialami masyarakat akibat kuota yang tidak bisa dimanfaatkan untuk pendidikan daring, pekerjaan, atau layanan publik berbasis digital.
Skema Paket: Siapa Diuntungkan?
Pola paket yang membagi kuota menjadi beberapa kanal membuat penggunaan menjadi tidak fleksibel. Banyak pelanggan tidak pernah membuka aplikasi tertentu, tetapi tetap ‘dipaksa’ membeli kuota untuk layanan tersebut. Skema ini secara sistemik menguntungkan operator, karena mereka dapat mengeklaim telah memberikan kuota besar, padahal pengguna tidak mendapatkan nilai guna yang proporsional.
Sementara itu, regulasi masih membiarkan praktik ini berjalan tanpa intervensi berarti. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memang mengatur soal transparansi informasi dan perlindungan konsumen, tetapi belum menyentuh substansi keadilan dalam struktur paket kuota.
Jika listrik prabayar atau air PDAM memiliki sistem sisa yang bisa dipakai kembali tanpa hangus, mengapa kuota internet tidak bisa berlaku serupa? Sudah saatnya pemerintah melalui Kominfo, BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), dan Komisi I DPR RI mendorong reformasi kebijakan paket data, dengan prinsip-prinsip berikut:
1. Mekanisme rollover (pengalihan kuota sisa ke periode berikutnya) wajib diterapkan oleh seluruh provider.
2. Paket internet harus bersifat unifikasi (kuota utama saja), bukan dibagi-bagi ke kanal tertentu.
3. Transparansi harga dan nilai guna: Berapa rupiah per MB yang sebenarnya diterima pelanggan harus mudah dipahami.
4. Sanksi tegas bagi praktik misleading atau paket jebakan.
Sudah cukup lama publik menjadi korban sistem kuota yang tidak adil. Fenomena ini menunjukkan bahwa penyedia jasa telekomunikasi belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan konsumen. Jika diam terus, publik hanya akan terus merugi. Tekanan publik, pemberitaan media, dan advokasi kebijakan adalah kunci menuju regulasi yang lebih berpihak.
Bukan hanya hak digital yang dilanggar—tetapi juga keadilan sosial dalam akses informasi, pendidikan, dan ekonomi berbasis internet. Pemerintah tak boleh menutup mata. Dan publik tak boleh lagi diam.
Publik dinilai selama ini dicurangi secara sistemik oleh struktur tarif yang tak adil. Kuota dibagi menjadi kuota utama, kuota aplikasi, kuota malam, dan kuota hiburan, yang cenderung menyulitkan pemanfaatan optimal.
Hingga kini, belum ada regulasi tegas dari pemerintah untuk mengatur sistem rollover kuota atau keharusan provider mengembalikan sisa kuota sebagai hak pelanggan.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) didesak membuat kebijakan baru yang mewajibkan:
1. Kuota tidak hangus, atau minimal dapat diperpanjang.
3. Skema pembagian kuota dihapus, cukup kuota utama.
4. Nilai guna kuota harus transparan.
4. Provider dilarang menjual paket dengan istilah promosi yang menyesatkan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga diminta aktif mengawasi dan menindak praktik yang merugikan konsumen. Sementara DPR RI Komisi I diminta mempercepat revisi regulasi perlindungan konsumen digital. (***)
Editor: Amiruddin Sormin Laporan: Lampungpro.co
#Berikan Komentar
Lampung Tengah
1384
Politik
364
198
21-Jun-2025
1304
21-Jun-2025
580
21-Jun-2025
766
21-Jun-2025
681
21-Jun-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia