Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Jangankan Manusia, Suara Tuhan pun Dibeli
Lampungpro.co, 13-Feb-2017

Amiruddin Sormin 1485

Share

Sekembali ke negaranya, seorang jurnalis Amerika Serikat menulis di kolom media tempatnya bekerja. Dia baru saja memantau pemilihan kepala daerah sebagai gambaran betapa suburnya demokrasi di Indonesia. Di akhir catatannya dia menulis, "Demokrasi di Indonesia sangat luar biasa. Jangankan suara manusia, suara Tuhan pun bisa dibeli."

Sang jurnalis mengutip sebuah kalimat berbahasa latin yang amat kesohor, vox populi vox dei atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Bisa jadi jurnalis itu kaget karena maraknya politik uang dalam proses demokrasi di Tanah Air, sehingga dia mengumpamakan suara rakyat adalah suara Tuhan, ternyata bisa dibeli di Indonesia.

Suka atau tidak, terjemahan demokrasi ala pilkada bagi masyarakat adalah 'wani piro'. Makanya, walau tak bayar pajak penghasilan, masyarakat hingga pelosok kenal NPWP alias nomor piro wani piro (NPWP). Ini jurus pamungkas dari sekian banyak jurus kampanye yang harus dipenuhi.

'Kampanye' paling ampuh adalah 'main di ujung'. Menyebar spanduk, umbul-umbul, pasang iklan di media, dan silaturahmi itu cuma ben ketok kerjo (biar terlihat bekerja). Kuncinya tetap 'main di ujung'. Bentuknya, serangan fajar, pat gulipat di TPS, hingga proses penghitungan mulai desa, kecamatan, hingga kabupaten.

Memang tak enak didengar, tapi itu fakta yang terulang setiap pilkada. Dari praktek itulah muncul sebutan, kepala daerah itu bukan hasil pemilihan umum, tapi hasil pemilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ini lingkaran setan yang butuh proses lama untuk memutusnya, karena praktek politik amat sangat transaksional.

Ini juga bukti gagapnya berpolitik setelah 32 tahun dibungkam. Selama reformasi politik tak lebih dari perebutan kekuasaan, bukan pemberdayaan masyarakat akan bernegara. Rakyat diposisikan cuma jadi pemilih bukan penentu kebijakan. Cukup kasih sembako dan selembar pecahan rupiah.

Sekali lagi ini bukan isu baru, tapi itu fakta yang masih terjadi di lapangan. Siapa yang harus memutus rantai 'wani piro' ini? Secara kelembagaan, tentu yang diberi taji dan kuku untuk itu. Ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan perangkat lain. Sebagai jurnalis, saya pasti semangat menulis kalau Bawaslu dan Panwasalu yang berani bertindak tegas.

Semangat rasanya menekan tuts keyboard kalau ada yang berani menolak tawaran untuk diam menyaksikan praktek 'wani piro'. Percayalah, selama 'wani piro' terjadi, kemenangan yang diraih itu bukan suara Tuhan, tapi suara hantu.

Tabik puunnn....


Amiruddin Sormin
Wartawan Utama

#

 

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved