TANJUNGKARANG (Lampungpro.co): Delapan puluh tahun lalu, Lampung menjadi saksi medan perang mempertahankan kemerdekaan, ketika dentum meriam Belanda mengguncang Pelabuhan Panjang pada 1 Januari 1949, lalu menjalar ke Olok Gading, Umbul Limus, hingga Kedondong. Pemerintah Karesidenan Republik Indonesia memilih mundur ke Pringsewu demi menyelamatkan warga, membentuk Pemerintahan Darurat yang berpindah-pindah di kantong Bukit Barisan.
Residen Perang Gele Harun Nasution memimpin laskar rakyat dan TNI untuk mengatur strategi gerilya, termasuk menerbitkan uang ORIDA agar ekonomi rakyat tetap berjalan. "Kami tidak mundur, hanya memindahkan medan juang demi memastikan republik tetap bernafas," demikian tertulis dalam arsip rapat darurat 4 Januari 1949 yang kini disimpan di museum daerah.
Perlawanan Lampung tak hanya terjadi di pesisir. Pada awal Januari 1949, Belanda memperluas serangan ke Metro, memicu pertempuran di Bedeng 14/1, Bedeng 12A Tempuran, dan Trimurjo. Laskar Hizbullah Telukbetung dan pasukan TNI bertempur sengit, menahan laju Belanda sambil melindungi jalur evakuasi warga ke pedalaman.
Kisah ini sejatinya berawal sejak proklamasi 17 Agustus 1945, saat Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Lampung dibentuk di bekas Hotel Wilhelmina, Tanjungkarang–Telukbetung, pada 9 September 1945. Langkah itu menandai berdirinya pemerintahan Republik di Lampung, diperkuat oleh rapat raksasa Lapangan Enggal tahun 1946 yang mendesak pergantian Residen Abdul Abbas menjadi Dr. Badril Munir, dan kemudian R.M. Rukadi Wiryoharjo pada 29 November 1947.
Memasuki 1948, ancaman agresi Belanda membuat Lampung membentuk Dewan Pertahanan Daerah. Pos-pos siaga, seperti di Panjang dan pos ALRI di Kalianda, menjadi mata peringatan di garis pantai. Rencana evakuasi pemerintahan, logistik, dan warga disusun untuk menghadapi serangan mendadak.
Agresi Militer Belanda II memaksa strategi mundur-teratur. Setelah pertempuran di Panjang, Olok Gading, dan Umbul Limus, pasukan Republik memilih bertahan di Kedondong pada 25 Juni 1949, meski harus menghadapi serangan udara. Sementara itu, di Krui dan lereng Bukit Barisan, kantong gerilya menjadi pusat logistik dan komunikasi pejuang.
Bagi rakyat Lampung, mempertahankan kemerdekaan bukan hanya mengangkat senjata. Perempuan mengatur pasokan pangan, pemuda menjadi kurir pesan di tengah hujan peluru, dan tokoh masyarakat menjaga semangat juang di tengah desa yang kosong akibat evakuasi. Semua bergerak untuk tujuan yang sama: mempertahankan Republik Indonesia.
Delapan dekade berselang, jejak perjuangan ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tak jatuh dari langit, melainkan dirawat dengan darah, nyawa, dan keberanian warga biasa. Tugas generasi kini adalah mengisi kemerdekaan dengan keberanian yang sama, dalam bentuk kerja nyata, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat. (***)
Editor: Amiruddin Sormin
https://bpjslampung.org/Berikan Komentar
438
09-Aug-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia