TEGINENENG (Lampungpro.co): Produksi cabai Lampung selalu jadi kebanggaan. Menghiasi semua laporan kinerja pertanian dengan predikat produsen cabai terbesar Sumatera. Produksi selalu surplus dan menjadi suplier cabai ke berbagai provinsi di Sumatera.
Menurut data Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Lampung, sejak 2014 Lampung dikenal sebagai produsen cabai merah dan cabai rawit terbesar di Sumatera. Bahkan, produksinya surplus dan menyuplai kebutuhan di Sumatera dan Jawa.
Sebagai gambaran, produksi cabai merah pada 2014 tercatat 32.260 ton, sempat turun menjadi 31.272 ton pada tahun 2015. Namun, naik lagi menjadi 34.821 ton pada 2016. Pada 2017, Lampung mengembangkan 710 hektare lahan cabai di seluruh kabupaten/kota guna memenuhi kebutuhan akan komoditas tersebut, baik di Provinsi Lampung maupun daerah lain.
Hasilnya, pada 2019 produksi cabai besar Lampung melejit ke angka 40.101 ton. Tapi apakah pendapatan petani cabai ikut melejit? Penelusuran Lampungpro.co di sentra cabai Desa Trimulyo, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran, Kamis (6/8/2020), tak seindah yang dipaparkan dalam berbagai Powerpoint.
Harga bahkan pernah terjun bebas ke Rp3.000/kg. "Menanam cabai itu sama dengan berjudi. Tak tahu berapa harganya saat panen nanti. Percuma membuat analisa usaha tani, karena kita tak bisa menghitung berapa harga jualnya. Setiap ditanya berapa harga cabai jawabannya tak menentu, bahkan saat panen pun petani tak tahu berapa harganya," kata Kepala UPT Pertanian Kecamatan Tegineneng, Subroto, kepada Lampungpro.co, di Trimulyo.
Jika para pengepul pun ditanya berapa harga cabai, jawabnya cuma kira-kira dan katanya. Ironisnya, sudahlah tak tahu harga, penjualan cabai pun tak pernah kontan alias cash and carry. "Semua titipan untuk dijualkan. Pengepul seperti saya pun tak berani kasih harga, perhitungan dilakukan setelah cabai terjual," kata Imam Mursidi, salah satu pengepul di Trimulyo.
Menurut Imam, dia tahu harga cabai dari bosnya. Lalu, bosnya pun tahu harga dari bos lagi. Demikian seterusnya hingga ada lima rantai yang harus dilalui hingga cabai sampai ke pasar. Daya tahan cabai yang bakal busuk 24 jam setelah dipetik menjadi titik lemah. Akibatnya, petani tak punya pilihan selain menyerahkan nasib komoditas yang ditanam selama 90 hari itu di tangan para bos yang memberi harga dengan patokan 'katanya'.
Sejumlah petani cabai saat berada di kawasan pertanaman cabai Desa Trimulyo, Pesawaran, Kamis (6/8/2020). LAMPUNGPRO.CO/AMIRUDDIN SORMIN
"Harga jual itu bagaimana kata tengkulak atau pengepul. Di sini ada 3-4 pengepul. Semua cabai yang dibawa pengepul itu titipan. Kalau pun ada perbedaan harga, cuma Rp500 per pengepul. Biasanya petani minta dibayar upah petik dulu dari pengepul, sisanya dibayar setelah cabai terjual," kata Sujito, petani cabai yang juga Ketua Kelompok Tani Subur 2 Trimulyo.
Idealnya, kata Sujito, harga jual cabai itu Rp10 ribu-Rp15 ribu untuk cabai petik hijau dan Rp20-Rp25 ribu untuk petik merah. Harga itu sudah diperhitungkan biaya tanam, terutama pestisida yang harganya selangit. "Kalau harga di bawah Rp10 ribu, petani ngak pulang modal. Makanya, banyak cabai tak lagi dipetik dan dibiarkan membusuk di batang karena harganya di bawah Rp10 ribu," kata Sujito.
Kecamatan Tegineneng merupakan salah satu sentra cabai Lampung. Menurut data Dinas Pertanian dan TPH Kabupaten Pesawaran, produksi cabai besar pada 2019 mencapai 3.795 ton dan cabai kecil 520 ton. Sedangkan pada 2020 hingga Juni, produksi cabai besar 490 ton dan cabai kecil 90,85 ton. Total luas lahan mencapai 254 hektare. Selain di Tegineneng juga terdapat seluas 177 ha di Way Ratai.
"Keahlian petani cabai di Tegineneng ini sudah dikenal ke berbagai daerah. Bahkan tak sedikit yang pindah ke provinsi lain, karena harga tak menentu di sini. Produksi kita selalu surplus, problemnya memang di harga yang tak menentu," kata Kepala Dinas Pertanian dan TPH Pesawaran, Anca Martha Utama.
Dampak anjloknya harga cabai, menurut Kisman, Ketua Kelompok Tani Gemah Ripah, Desa Trimulyo, membuat petani trauma. "Sebenarnya produksi cabai di sini sudah berkurang 50% karena petani trauma. Beruntung masih ada tanaman lain seperti terong, timun, pare, dan kacang panjang. Kalau cuma mengandalkan cabai, bisa ngak bisa makan," kata Kisman. (AMIRUDDIN SORMIN/PRO2)
Berikan Komentar
Saya yakin kekalahan Arinal bersama 10 bupati/walikota di Lampung...
1262
Lampung Selatan
3950
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia