Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Menanti Anak Singkong Jadi 'Kingkong'
Lampungpro.co, 26-Oct-2017

Amiruddin Sormin 1606

Share

Singkong alias ubikayu hanya satu dari sekian banyak komoditas yang dibiarkan bertarung bebas saat negara lain bebas buka lapak di pasar-pasar kita. Kegenitan ilmu pasar bebas yang mengukur Indonesia dari Jakarta, sering membuat petani klepek-klepek ditagih para�pengijon.

Begitulah nasib petani yang sempat sumringah dua tahun lalu ketika harga singkong meroket ke Rp2.000/kg. Tiba-tiba setiap sudut Lampung ditumbuhi tanaman singkong, bahkan menggusur lahan komoditas unggulan seperti lada, kakao, dan kopi. Petani menebang pohon karet yang tak kunjung membaik.

Namun dalam sekejap juga harga singkong anjlok ke Rp500-Rp600/kg. Petani hanya bisa melongo ketika mendapat dalih, keran impor tapioka dibuka lebar karena tunduk pada pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) per 1 Januari 2016. Harga tepung tapioka eks Vietnam sampai Surabaya lebih murah Rp1.000/kg ketimbang tepung tapioka eks Lampung Tengah.

Tanaman singkong pun meranggas. Petani harus rela melepas sepeda motornya ditarik lising karena menunggak dan memilih tak bayar pajak kendaraan bermotor.

Kalau serat Majapahit dibuka, boleh jadi teknologi pengolahan singkong para petani di Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, dan Mesuji, di 'kids zaman now' belum beranjak jauh. Paling-paling jadi tepung tapioka, tape, dan kripik.

Agak moderen sedikit jadi etanol dan bioetanol. Itu pun dikuasai kartel yang sering 'ngapusi' petani saat menghitung kadar aci.

Membiarkan petani bertarung sendiri mengatasi harga singkong, tentu pengkhianatan besar terhadap intelektualisme dan tridarma perguruan tinggi. Saya bersyukur seminggu terakhir, para intelektual itu datang ke Lampung membahas singkong dana nasib anak singkong ini.

Tema yang diusung 'Revitalisasi agribisnis ubi kayu hulu-hilir menuju kemandirian pangan, energi, dan industri nasional' cukup membuat petani di umbulan sana semangat lagi membajak lahannya. Tak ada cara lain mendongkrak harga singkong kecuali berharap muncul inovasi yang bisa diukur dalam skala bisnis.

Tak harus selalu skala industri. Sentuhan kecil tapioka diubah menjadi cireng (aci goreng) pun cukuplah. Apalagi cireng berkolaborasi dengan perguruan tinggi macam Universitas Bandar Lampung (UBL) yang rektornya Yusuf S. Barusman jadi Ketua Forum Koordinasi Dewan Riset Daerah se-Sumatera.

Siapa tak kenal 'Cireng UBL' yang gerobaknya kini tak hanya mangkal di depan Kampus UBL. Kita berharap para pakar ini mampu mengubah singkong menjadi 'kingkong'.

Tabik puuunnn.....


Amiruddin Sormin
Wartawan Utama

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
Eva Dwiana Lanjut, Banjir Bandar Lampung Bakal...

Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...

4127


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved