BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Idulfitri sering disederhanakan sebagai 'kemenangan' setelah puasa, padahal akar kata 'fitri' (الفطر). Ini merujuk pada 'kembali ke fithrah kondisi primordial manusia yang belum ternoda.
Dalam Tafsir Al-Qurthubi, Surah Ar-Rum ayat 30 dijelaskan sebagai "hanîf" kecenderungan alami manusia pada kebaikan yang menyatu dengan alam. Idulfitri, dengan demikian, bukan sekadar perayaan, melainkan reset eksistensial.
Di sini, mudik menjadi metafora fisik dari perjalanan batin ini. Pulang ke kampung adalah upaya menyelami kembali fitrah kolektif yang terpendam dalam kenangan masa kecil.
Mudik sebagai Katarsis Sosial: Melawan Alienasi Modern
Urbanisasi memaksa perantau hidup dalam paradoks: mereka membangun identitas baru di kota. Tapi jiwa terbelah seperti terungkap dalam teori double consciousness W.E.B. Du Bois. Mudik adalah ruang katarsis untuk melepas beban ini.
Data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) 2023 dan 2024 mencatat angka tak beda jauh, sekitar 120 an juta warga bergerak mudik. Angka yang tak hanya menunjukkan skala, tapi juga intensitas kerinduan.
Dalam perspektif sosiolog Arjun Appadurai, ini adalah 'ritual skala besar' yang menegosiasikan lokalitas di tengah arus globalisasi. Tradisi serupa terlihat dalam ChūnYún (migrasi Tahun Baru Imlek) di Tiongkok, di mana 300 juta pekerja urban kembali ke desa, atau Thanksgiving di AS yang menyatukan keluarga meski sejarahnya sarat konflik kolonial.
Ayat-Ayat Terlupakan: Membaca Kembali Surah Hud dan Kisah Pengembalian
Sementara Surah Al-Baqarah 185 sering dikutip tentang puasa, ada ayat lain yang relevan dengan filosofi mudik. Surah Hud: 120, "Dan semua yang Kami ceritakan kepadamu dari kisah-kisah rasul, agar Kami teguhkan hatimu..." Ayat ini mengisyaratkan pentingnya kisah kolektif sebagai penopang identitas.
Mudik adalah upaya mengaktifkan kembali narasi bersama: dongeng sebelum tidur dari nenek, cerita ayah tentang pohon mangga di belakang rumah, atau seloroh masa kecil yang hanya dimengerti oleh tetangga satu kampung.
Dalam tradisi Yahudi, konsep Teshuvah (kembali) pada Hari Raya Yom Kippur juga menekankan rekonsiliasi dengan asal-usul. Meski melalui pertobatan, bukan perjalanan fisik.
Historisitas Mudik: Dari Nusantara Hingga Mesopotamia
Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa tradisi pulang kampung telah ada sejak masa Sriwijaya, ketika pedagang rempah pulang ke desa usai melintasi Samudera Hindia. Namun akarnya mungkin lebih purba:
Epik Gilgamesh (1800 SM) menggambarkan sang pahlawan yang berkelana mencari keabadian, tapi akhirnya sadar bahwa "rumah" adalah tempat di mana ingatan tentang sahabat Enkidu disimpan.
Di Mesir Kuno, Festival Wag yang menghormati leluhur juga melibatkan pulang ke makam keluarga. Ini mirip dengan ziarah kubur saat Lebaran.
Konflik dan Rekonsiliasi: Ketika Kampung Tak Lagi Sama
Namun, mudik bukanlah nostalgia polos. Antropolog James T. Siegel mengingatkan bahwa "kampung" sering kali imajiner: ia hadir sebagai konstruksi yang diromantisasi, sementara realitanya mungkin berubah.
Konflik muncul ketika perantau membawa nilai-nilai kota yang dianggap "mengancam" tradisi desa. Tapi justru di situlah fungsi katarsis bekerja:
Melalui ketegangan ini, masyarakat menemukan mekanisme adaptasi. Di India, fenomena serupa terjadi saat Diwali: perantau pulang dengan gaya hidup metropolitan, tapi tetap melakukan ritual bersama keluarga—sebuah kompromi antara modernitas dan tradisi.
Penutup: Origami Jiwa yang tak Pernah Selesai
Idulfitri dan mudik mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu dalam proses menjadi—seperti origami yang setiap tahun dilipat ulang, mencari bentuk yang lebih dekat dengan fitrah.Dalam Surah Al-Hadid: 20, Allah mengingatkan “kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga...”
Ayat ini kerap dibaca sebagai pesan zuhud, tapi dalam konteks mudik, ia justru mengajak kita merayakan kefanaan: bahwa pertemuan-pertemuan singkat di teras rumah, tangisan di makam orang tua, atau tawa saat bermain petasan dengan keponakan adalah fragmen suci dalam drama kosmis yang bernama ingatan.
Epilog: di Stasiun Senen Sebelum Kereta Berangkat
Seorang lelaki paruh baya memeluk tas ransel berisi oleh-oleh. Di dalamnya, ada sepatu sekolah untuk adiknya yang sudah menjadi guru, kopi instan rasa jagung untuk ibu yang matanya rabun, dan novel laris yang akan ia letakkan di meja ayahnya—sebuah nisan di ujung kampung.
Kereta Api mendengus. Ia tak tahu apakah kampung masih mengingatnya, tapi seperti kata pujangga Palestina Mahmoud Darwish: "Kita pulang ke tempat yang bukan lagi rumah, untuk menemukan rumah yang tak pernah kita tinggalkan."
Selamat mudik dan berkumpul bersama keluarga tercinta di kampung halaman. (***)
Penulis Heri Wardoyo (Satu Pena Lampung), Editor Amiruddin Sormin
Berikan Komentar
Dukungan dan legacy yang besar, juga mengandung makna tanggung...
14965
EKBIS
7181
Bandar Lampung
4642
256
01-Apr-2025
360
01-Apr-2025
339
01-Apr-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia