Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Nama Besar Tinggal Kenangan, ini Sejumlah Rumah Makan Padang Legend di Lampung Tumbang dan Redup Satu per Satu
Lampungpro.co, 19-Jun-2025

Amiruddin Sormin 682

Share

Ilustrasi rumah makan Padang. LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Rasa dibawa mati. Itu istilah yang sering disematkan pada rumah makan Padang, sebutan untuk rumah makan masakan Minang.

Istilah ini berasal dari banyak contoh rumah makan Padang yang meredup bahkan tutup akibat sang pemilik wafat. Tak lama berselang, rumah makannya pun ikut “wafat”.

Bandingkan dengan restoran asing seperti KFC yang tetap eksis meski pendirinya, Kolonel Harland David Sanders, telah meninggal pada 16 Desember 1980 di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat. Namun gerai-gerainya masih buka hingga kini di Kedaton dan Rajabasa, Bandar Lampung.

Namun tak sedikit rumah makan Padang yang dulu jadi primadona kuliner, kini mulai tumbang. Nama-nama besar seperti Kamang, Dua Saudara, Wisata Minang Jaya, hingga Danau Kembar Hajimena, adalah beberapa nama yang mulai meredup bahkan tinggal cerita. Sebagian tutup sementara, sebagian lain sudah benar-benar gulung tikar.

Danau Kembar, rumah makan yang sempat ramai di jalur strategis Jalan Lintas Sumatera di Hajimena, Lampung Selatan, kini tutup total dan menjadi lahan parkir. Bangunannya terbengkalai, gerbang berkarat, dan halamannya ditumbuhi rumput liar. Padahal, di awal 2010-an, tempat ini dikenal sebagai salah satu destinasi kuliner keluarga, tempat orang tua memboyong anak-anak menikmati rendang, dendeng, dan gulai otentik dengan pemandangan kolam buatan.

Kondisi serupa terlihat di Rumah Makan Kamang di belakang Hotel Golden, Jalan Kartini, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung. Siapa tak kenal lele bakar khas Kamang. Boleh dibilang, satu dari 10 pengunjung ke Kamang pasti memesan lele bakar.

Namun sepeninggal pemilik, kini di aplikasi GoFood, beberapa cabangnya tercatat “tutup sementara”, seperti di Sukarame dan Suprapto. Kamang di belakang Hotel Golden juga tak seramai dulu. Bahkan Kamang di depan RS Bumi Waras sudah lama tutup.

Tak jauh berbeda dengan Dua Saudara yang dulu berjaringan luas, kini hanya tersisa beberapa cabang dengan jam buka tak menentu. Badai Covid-19 ditengarai menjadi salah satu penyebab rumah makan milik H. Fidyan Fiad ini mulai meredup.

Adapun Wisata Minang Jaya, rumah makan yang sempat viral di Lintas Timur karena kelezatan dan luasnya, kini sudah tak beroperasi. Hanya papan nama pudar yang tersisa, menjadi latar unggahan nostalgia warganet yang menuliskan, “Dulu tiap mudik pasti mampir, sekarang tinggal kenangan.”

Meski begitu, tidak semua rumah makan Padang legendaris mengalami nasib serupa. Bareh Solok di jalur Bypass Soekarno-Hatta misalnya, masih buka 24 jam dan aktif melayani pelanggan. Namun, tantangan tetap ada: dari penurunan volume pelanggan makan di tempat hingga dominasi pemesanan online.

Sebagai gambaran, di masa jayanya Rumah Makan Bareh Solok disinggahi lebih dari 12 perusahaan otobus (PO) antarkota antarprovinsi per hari. Kini, tinggal satu dua PO bus yang mampir.

Penyebab utama meredupnya rumah makan Padang besar di Lampung bukan semata karena kualitas rasa. Ada banyak faktor yang memengaruhi, seperti persaingan dari warung-warung Padang kecil yang lebih lincah secara digital, beban operasional besar, hingga bergesernya pola konsumsi generasi muda.

“Sekarang makan Padang bukan di restoran besar lagi, tapi di warung kecil pinggir jalan yang bisa dipesan lewat aplikasi. Lebih cepat dan murah,” ujar Sari, pengamat kuliner lokal.

Selain itu, beberapa rumah makan terjerat masalah regulasi. Padang Jaya dan Begadang II pernah disegel karena persoalan pajak, membuat kepercayaan publik menurun. Beruntung, Begadang II segera melunasi kewajibannya, sehingga kepercayaan masyarakat kembali pulih dan kini tetap eksis di bawah manajemen sang pemilik, H. Dasril Sutan Bagindo.

Sementara yang lain, seperti Danau Kembar, tergilas oleh perubahan pola lalu lintas dan urbanisasi Hajimena yang membuat lokasinya tak lagi strategis. Dulu, nama besar cukup jadi magnet. Tapi kini, tanpa adaptasi digital, pengemasan ulang menu, dan daya tarik visual, rumah makan legendaris pun tak kebal dari senyap.

Kini, tempat-tempat itu hanya tersisa di ingatan. Sebagian masih berjuang bertahan, sebagian lain benar-benar lenyap. Belum lagi rumah makan Padang di jalan lintas Sumatera yang terimbas kehadiran Jalan Tol Trans Sumatera.

Pertanyaannya: akankah rumah makan Padang legendaris Lampung bangkit, atau selamanya tenggelam dalam nostalgia?

Kelemahan Rumah Makan Padang

1. Ketiadaan Sistem Manajerial yang Terstruktur. Banyak rumah makan Padang beroperasi berdasarkan pola owner-based management, di mana pemilik merangkap sebagai juru masak, kasir, pengambil keputusan, hingga pengatur keuangan. Ketika pemilik wafat atau tidak aktif lagi, tidak ada sistem operasional tertulis atau manajemen formal yang bisa menjaga kesinambungan usaha.

2. Resep dan Rasa Tak Diturunkan Secara Sistematis. Keunikan rumah makan Padang terletak pada cita rasa yang biasanya hanya dimiliki oleh pemilik atau koki utama yang juga bagian dari keluarga. Ketika tokoh sentral ini tiada, resep sering tidak terdokumentasi atau sulit ditiru secara konsisten, sehingga pelanggan lama tak lagi menemukan rasa yang sama.

3. Tidak Ada Regenerasi Bisnis atau Delegasi. Banyak pemilik rumah makan Padang enggan atau terlambat melakukan regenerasi ke anak-anak atau karyawan. Akibatnya, saat pemilik meninggal atau pensiun, usaha langsung stagnan atau tutup karena tidak ada figur pengganti yang siap mengelola.

4. Minimnya Standarisasi dan Sistem Waralaba. Berbeda dengan restoran modern, rumah makan Padang umumnya tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) tertulis. Setiap cabang berdiri sendiri, sehingga ekspansi sulit dan tidak terkelola secara profesional. Hanya segelintir yang sudah memakai sistem ini seperti Rumah Makan Sederhana yang sering dipelesetkan karena harganya tak sederhana.

5. Fokus pada Dapur, Bukan pada Branding. Banyak rumah makan Padang hanya terkenal di komunitas lokal dan tidak membangun merek secara nasional apalagi global. Sehingga ketika tokoh sentral hilang, tidak ada identitas merek yang bisa menopang keberlanjutan bisnis.

Perbandingan: KFC sebagai Jaringan Internasional

1. Sistem Manajemen Profesional dan Terdistribusi. KFC dikelola oleh sistem waralaba global dengan struktur organisasi yang mapan dari pusat ke cabang, memungkinkan bisnis tetap berjalan tanpa ketergantungan pada satu orang.

2. Standarisasi Produk dan Operasional. Resep KFC (seperti "11 herbs and spices") telah terdokumentasi dan diamankan secara hukum. Pelatihan dilakukan terpusat dan hasil produksi bisa distandarisasi di seluruh dunia.

3. Brand yang Lebih Kuat daripada Pendiri. Meskipun Colonel Sanders telah wafat sejak 1980, wajah dan kisahnya menjadi bagian dari narasi merek, bukan ketergantungan operasional. Merek KFC lebih kuat dari individu.

4. Model Waralaba yang Berkelanjutan. KFC berkembang melalui model waralaba yang memungkinkan siapa pun menjalankan bisnis dengan dukungan penuh dari pusat, mulai dari bahan baku, pelatihan, promosi, hingga manajemen keuangan.

5. Inovasi dan Adaptasi Tanpa Henti. KFC rutin melakukan riset pasar dan inovasi menu yang disesuaikan dengan preferensi lokal tanpa harus bergantung pada satu tokoh pendiri.

Rumah makan Padang yang terlalu bertumpu pada figur pemilik rawan mati suri ketika pemilik tidak lagi aktif atau wafat, karena ketiadaan sistem, regenerasi, dan standardisasi. Sebaliknya, keberhasilan KFC dan jaringan restoran global lainnya terletak pada sistem manajemen modern, merek yang kuat, dan waralaba yang terlepas dari ketergantungan pada pendiri.

Jika rumah makan Padang ingin bertahan lintas generasi, maka modernisasi sistem dan manajemen adalah keharusan. (***)

Editor: Amiruddin Sormin

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved