Salam sejahtera. Tabik puuunnn.…
Sepanjang singkong di Lampung hanya diolah jadi tepung tapioka, masalah harga rendah takkan pernah berakhir. Berbagai alasan baru bakal muncul seiring munculnya kebijakan atau putusan baru.
Ini sudah terbukti berulangkali. Usai petani singkong demo besar-besaran, muncullah kesepakatan baru harga baru Rp1.350/kg dengan potongan maksimal 15%.mulai berlaku 31 Januari 2025,.
Tapi yang terjadi jauh panggang dari api. Alih-alih ingin menaikkan harga singkong, harga malah terjun bebas ke level Rp1.000 per kg. Sejak awal April 2025, harga singkong turun ke level Rp1,100 per kg dengan potongan (rafaksi) hingga 30%.
Ujungnya petani cuma terima Rp500 hingga Rp600 per kg. Bukan untung tapi buntung. Jangankan untung balik modal pun tidak.
Petani singkong kembali riuh bikin konten curhat di berbagai medsos. Bahkan mengancam demo besar-besaran dengan menutup Bandara hingga Jalan Tol Trans Sumatera agar jadi isu nasional.
Di sisi lain, pabrik berdalih dengan harga Rp1.350 dan potongann 15% produk tapioka asal Lampung susah bersaing. Jangankan bersaing dengan tapioka impor, dengan tapioka lokal pun tumbang di pasaran.
Jurus ngambek pun kembali dipakai, berhenti produksi dan stop beli singkong petani Kondisi ini membuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Provinsi Lampung mengetuk satu per satu pintu lima kementerian di Jakarta agar harga dan mutu singkong berlaku nasional dengan harapan produk tepung tapioka asal Lampung mampu bersaing.
Apakah ada jaminan harga bakal naik setelah pemerintah pusat memberlakukan standar harga dan mutu singkong seragam di seluruh Tanah Air? Dari pangalaman selama ini, tak ada jaminan untuk itu Bakal muncul alasan baru yang ujung-ujungnya harga singkong tetaplah murah.
Untuk itu, Pemprov Lampung harus segera keluar dari lingkaran setan ini. Jangan terus menerus terjebak dalam lingkaran ini
Segeralah minta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) jatuhkan vonis atas tata niaga singkong di Lampung yang selama ini diduga oligopoli. Pasalnya, dugaan ini sudah lama diselidiki oleh KPPU, tapi tak kunjung ada putusan.
Berbekal vonis KPPU itu, segeralah susun peta jalan (roadmap) hilirisasi singkong di Lampung agar tak hanya jadi tapioka. Sampaikan alasan ke pusat melalui Kementerian Hilirisasi, misalnya, bahwa Lampung jadi lahan empuk oligopoli singkong. Sehingga perlu terobosan segera agar harga singkong bertahan tinggi.
Ini bukan isapan jempol. Harga singkong di Lampung pernah di atas Rp2.000 per kg pada 2005-2006 saat raksasa migas seperti PT Medco Internasional dan perusahaan lainnya buka industri ethanol di Lampung. Medco buka pabrik di bawah bendera PT Medco Ethanol Lampung.
Sayang, saat itu belum ada wasit seperti KPPU yang mengawasi permainan. Sehingga praktik jegal menjegal metajelala di langanan. Satu persatu industri ethanol dibuat gulung tikar karena kesulitan bahan baku. Alasan ironis di provinsi bergelar produsen singkong terbesar nasional, tempat dimana seharusnya bahan baku melimpah.
Kini momentum hilirisasi telah tiba. Presiden Prabowo Subianto dengan semangat kemandirian energi dan energi hijau membuka ruang seluasnya bagi hilirisasi. Kini, ada wasit yang mengawasi permainan dan siap nyemprit jika ada yang main jegal.
Jangan tunggu lama-lama. Siapkan roadmap, bentuk tim, dan jadilah marketing bagi seperempat penduduk Lampung yang menggantungkan hidupnya dari singkong. Ketuk satu per satu pintu para investor dan bentangkan karpet merah. Ayo...gehhh! (***)
Salam,
Amiruddin Sormin (Wartawan Utama)
Berikan Komentar
menggantungkan hidupnya dari singkong.
892
Nasional
7141
Tulang Bawang
3710
430
03-May-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia