Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Trotoar yang Terampas, Pejalan Kaki Anak Tiri Kota Bandar Lampung
Lampungpro.co, 19-Jun-2025

Amiruddin Sormin 925

Share

Deretan tenda di atas jalan trotoar di Jalan ZA Pagar Alam samping Bebek Goreng H. Slamet Kedaton Bandar Lampung. LAMPUNGPRO.CO/AMIRUDDIN SORMIN

BANDAR LAMPUNG (Lampungoro.co): Di banyak kota besar dunia, trotoar adalah simbol keberadaban ruang kota—tempat manusia dihargai sebagai subjek utama mobilitas. Tapi tidak di Bandar Lampung. Di kota ini, trotoar tak lebih dari ruang sisa yang bisa dirampas siapa saja: pedagang kaki lima, parkir liar, hingga bangunan semi permanen.

Pejalan kaki? Seolah hanya penumpang gelap di kota yang pada pada 17 Juni 2025 lalu merayakan hari jadi ke 343 Tahun. Boleh jadi itu hanya peringatan bagi warga yang punya kendaraan, bukan bagi warga pejalan kaki, karena mereka adalah anak tiri kota Tapia Berseri ini.

Lihat saja kondisi terkini trotoar di Jalan Zainal Abidin Pagar Alam, Teuku Umar, Kartini, Radin Intan, Diponegoro, Pangeran Antasari, hingga Sultan Agung. Di siang hari, trotoar dipadati lapak-lapak pakaian bekas, penjual pulsa, kios aksesori HP, hingga pedagang buah. Begitu matahari condong ke barat, giliran warung makan tenda, pecel lele, angkringan, hingga kedai kopi dadakan mengambil alih. Mereka membangun terpal, meletakkan kursi, bahkan membentangkan panggangan—menyulap trotoar menjadi ruang niaga.

Yang menyedihkan, pemerintah seolah hadir hanya sebagai pengamat pasif. Padahal, dampak dari perampasan trotoar itu sangat nyata. Selain mencabut hak pejalan kaki, keberadaan pedagang dan parkir liar juga menjadi biang kemacetan di jalur utama kota. Para pengendara dipaksa memperlambat laju kendaraan karena sisi jalan menyempit, lalu lintas tersendat, terutama di jam sibuk.

Secara teori, kecepatan ideal pejalan kaki di trotoar yang layak dan bebas hambatan berkisar 4-5 km/jam. Namun di Bandar Lampung, itu hanya mimpi. Di banyak ruas jalan, orang berjalan zigzag, menuruni trotoar, lalu naik kembali karena jalur mereka dihalangi kursi plastik atau kendaraan roda dua.

Bandar Lampung seolah lupa bahwa pejalan kaki adalah bagian dari sistem mobilitas yang setara. Jika kota ini ingin disebut maju, maka tata kelola ruang publik harus dimulai dari trotoar. Tanpa itu, seluruh slogan “Smart City” hanya ilusi digital yang menutupi realitas fisik yang semrawut.

Yang ironis, trotoar sebenarnya dilindungi hukum. Setidaknya ada tiga regulasi penting yang dilanggar dalam perampasan trotoar ini:

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 131 ayat (1): “Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.”

2. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, Pasal 34 ayat (4): “Trotoar hanya dapat digunakan untuk keperluan lalu lintas pejalan kaki.”

3. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 03 Tahun 2011 tentang Ketertiban Umum, Pasal 13 ayat (1):. “Setiap orang dilarang menggunakan trotoar, jalan umum, dan fasilitas umum lainnya untuk kegiatan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat.”

Sayangnya, regulasi ini seperti tak bertaji. Pelanggaran terjadi setiap hari, namun penegakan hukum justru tumpul. Pemkot Bandar Lampung dan Satpol PP kerap hanya melakukan penertiban insidental, bukan solusi sistematis. Akibatnya, perampasan trotoar terus berulang dan menjadi budaya kota yang salah kaprah.

Bandingkan dengan Surabaya, yang telah berhasil menata trotoar dengan jalur pedestrian lebar, ramah difabel, dan berpohon rindang. Atau Semarang dan Solo, yang mengintegrasikan trotoar dengan moda transportasi publik serta memberi ruang lega bagi aktivitas pejalan kaki. Di kota-kota itu, pejalan kaki bukan warga kelas dua.

Sudah waktunya para pengambil kebijakan di Bandar Lampung berhenti menutup mata. Trotoar bukan tempat berjualan. Trotoar bukan tempat parkir. Trotoar adalah hak pejalan kaki. Bila kota terus membiarkan ketidakteraturan ini, maka sama saja kota turut andil dalam mendiskriminasi hak warga.

Dan ketika hak yang paling dasar saja tak lagi dipedulikan, bagaimana mungkin kita berbicara tentang kota yang manusiawi? (***)

Editor dan Penulis Amiruddin Sormin (jurnalis dan pemilih pada Pilkada Wali Kota dan anggota DPRD Bandar Lampung).

Berikan Komentar

Anonymous


Jadi apa kerjanya Pol PP dan aparat ybs ? Liat tu Jawa Barat pimpinannya tegas dan solutip

Anonymous


Selain trotoar: Tlg benahi 1. Insfratruktur Jalan.. masa Jalan ibukota provinsi kondisinya memprihatinkan. 2. Insfratruktur kabel2 dikanan kiri jalan raya, semrawut, tiang listrik miring2 3. Tata kelola sampah

Anonymous


Malah fokus mau bikin kereta gantung

Anonymous


Pengambil kebijakan yg kurang memanusiakan manusia dlm.pemanfaatan trotoar. Hampir semua jalan di Bandar Lampung. Kalau bukan rotoarnya hancur dan ditempati pedagang.

Anonymous


Sedih ya.. Masih sama dengan banyak tempat serupa di Jakarta. Trotoar dari sore hingga dini hari beralih fungsi dengan pedagang2 tenda dadakan bongkar pasang. Karena juga menguntungkan sebagian pihak yang meminta pungutan liar. Pihak berwenang yang terkait kurang tegas untuk menjalankan undang2 nya

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved