Cemara menderai sampai jauh, terasa hari akan jadi malam. Ada dahan di tingkap merapuh, dipukul angin yang terpendam— Chairil Anwar
Entah mengapa larik puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar—puisi yang selalu terasa seperti senja yang hendak pamit—muncul di benak saya tepat ketika kabar wafatnya Wina Armada Sukardi datang. Ia wafat pada sore hari. Dan sore, pada hari itu, terasa lebih sunyi dari biasanya.
Beberapa detik setelah kabar itu seperti petir di siang bolong, tiba-tiba terbayang kembali puisi-puisi Rabindranath Tagore dalam Gitanjali. Tentang manusia sebagai bejana, seruling kosong, yang dipilih Tuhan untuk menyalurkan keindahan-Nya. Seperti yang diyakini Spinoza: Tuhan bukan pribadi yang jauh, tapi keteraturan itu sendiri. Maka, melodi kehidupan hanya mengalun jika tubuh dan jiwa selaras dengan hukum-Nya.
Dan Wina, bagi saya dan ratusan wartawan yang pernah disentuh ilmunya, adalah seruling itu. Ditiup Sang Waktu, dibentuk oleh bakat, ditempa oleh ketekunan, dan diberkahi oleh kelimpahan.
Ia seorang penulis dan editor yang jeli, penyiar radio di ARH tahun 1980-an, juri film, penghayat hidup sehat, pencinta buku dan kuliner. Sosok urban, tapi tetap hangat dalam pergaulan.
Saya mengenalnya pertama kali tahun 1993. Ia pemimpin redaksi, saya anak buah yang kikuk. Tapi Wina tak pernah membentak. Kalimatnya berdiri tegak: jernih, berwibawa, dan sering lebih dahulu menangkap hal-hal yang belum kami sadari. Kami duduk di ruang yang sama, tapi pikirannya selalu satu lapis lebih tinggi—bukan karena jabatan, melainkan karena kedalaman perspektif.
WASSA, begitu kami memanggilnya—singkatan dari Wina Armada Sukardi, S.A. Julukan "Si Komo" melekat bukan karena tubuhnya ya
ng sempat tambun, tapi karena ia sering “memacetkan” isi kepala kami, para reporter, dengan kritik tajam nan membangun.
Waktu berjalan, dekade berganti, dan dua kata seolah menjadi identitasnya: hukum dan kebebasan. Wina bukan sekadar lulusan hukum Universitas Indonesia. Ia hukum itu sendiri—hidup, bernapas, dan berjalan.
Di ruang sidang, ia jadi ahli yang menjembatani teks dengan konteks. Dalam dunia literasi, ia menulis Wajah Hukum Pidana Pers dan puluhan buku lainnya. Tulisannya bagaikan lentera kecil di tengah simpang siur antara kebebasan dan batasan pers.
Produktivitasnya nyaris mitologis. Saya menyaksikan sendiri: dalam satu hari seminar etika pers, saat peserta baru mencatat, ia sudah menyusun kerangka buku. Sesi kedua baru mulai, bab demi bab rampung. Sore menjelang makan malam, tinggal sentuhan akhir.
“Her, sambil makan nanti saya edit, langsung saya kirim ke penerbit,” bisiknya.
Dan benar, saat kami duduk di warung malam, ia menepatinya. Saya hanya bisa menggeleng kagum—persis seperti mesin cerdas masa kini, padahal ini manusia biasa.
Namun ia tak hanya mesin kerja. Ia teman ngobrol yang cerdas dan hangat—tentang lukisan kelima Hardi yang baru dibelinya, tentang keponakannya yang melukis sejak remaja dan kini karyanya bernilai miliaran.
Ya, Wina sesungguhnya kolektor senyap. Lukisan-lukisan kelas atas tak tertampung di rumahnya yang luas. Tapi sebagai pencinta seni, ia hafal aliran, fasih bicara soal Dali dan Sudjojono, dan tetap rendah hati.
Di dunia podcast, ia juga hidup. Podcast Sembilan, namanya. Suaranya jernih, argumentasinya tegas tapi jenaka. Ia bisa memotong debat dengan satu kalimat yang membuat semua tertawa, tapi tetap menjaga arah. Dalam forum uji kompetensi wartawan, ia menjadikan dunia sebagai ruang dengar—tempat kebisingan ditarik kembali ke hening dan nalar.
Pernah, saat kami menikmati durian di Way Halim, Lampung, ia mencermati logat pedagang. “Diksi Banten-nya malah dominan ya,” katanya lirih. Wina tak pernah benar-benar libur mengamati.
Banyak sekali kenangan. Tapi malam ini saya tak hendak mengumpulkan semuanya. Saya hanya ingin mengatakan satu hal: bahwa kematian, sebagaimana fisika kuantum mengajarkan, datang seperti gelombang-partikel—tak tampak, lalu tiba-tiba menjadi kesadaran.
Pernah dalam satu percakapan larut malam di Batam, ia berkata, “Kullu nafsin dza’iqatul maut.” Tiap jiwa pasti akan merasakan mati. Baginya itu bukan ancaman, tapi pengingat.
Rumi menulis: “Don’t grieve. Anything you lose comes round in another form.” Dan saya percaya, energi Wina tak benar-benar hilang. Ia hanya berganti rupa—menjadi keberanian seorang jurnalis muda, menjelma dalam ketegasan hakim yang membela kebebasan pers.
Seneca menulis, “Death is the end of all, and yet the beginning of peace.” Maka saya menerimanya bukan sebagai akhir, tapi sebagai transisi—dari sahabat yang bisa saya telepon kapan saja, menjadi sahabat yang kini hanya bisa saya ajak bicara dalam diam.
Kehilangan bukan soal siapa yang pergi, tapi tentang ruang yang ditinggalkan. Dan ruang yang Wina tinggalkan, terasa luas sekali.
Selamat jalan, Bang Wina.
Suaramu masih bergema—dalam pasal dan ayat yang menyala, dalam catatan hukum, dalam podcast yang hening, dalam galeri lukisan, dalam obrolan malam yang tak akan kembali, dan terlebih, dalam hati saya yang diam-diam masih mencari jejak serulingmu—sebagai kemewahan hari ini. (***)
Penulis Heri Wardoyo (Ketua Satupena Lampung), Editor Amiruddin Sormin
Berikan Komentar
Olahraga
482
Humaniora
730
171
05-Jul-2025
168
05-Jul-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia