Tabik puuunnn.…
Bro, bayangkan pagi itu di Pati, Jawa Tengah. Ribuan orang berbondong-bondong menuju alun-alun. Bukan untuk festival atau pesta rakyat, melainkan untuk satu tujuan: mendesak Bupati Sudewo mundur dari jabatannya.
Spanduk, pengeras suara, dan wajah-wajah penuh amarah bercampur lelah memenuhi jalanan. Penyebabnya? Sebuah kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang melonjak hingga 250 persen—kebijakan yang bahkan sudah dibatalkan, tapi rupanya luka di hati warga tak ikut sirna.
Di titik ini, bukan sekadar pajak yang jadi masalah. Krisis kepercayaan sudah terlanjur menggerogoti relasi pemerintah dan rakyatnya. Bahkan setelah kebijakan dicabut, demonstrasi tetap bergulir. Sebab, dalam benak warga, janji pemerintah sudah kadung dianggap janji kosong.
Bro, kita yang tinggal di Lampung seharusnya paham, potensi terjadinya hal serupa itu besar. Di berbagai kabupaten dan kota, keluhan masyarakat menumpuk: jalan-jalan bolong bak permukaan bulan, janji perbaikan yang tak kunjung ditepati, persoalan harga hasil tani yang tak kunjung stabil, hingga kebijakan yang lahir tiba-tiba tanpa konsultasi publik.
Seorang pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman mengatakan, banyak kepala daerah terjebak pada pola “bikin kebijakan dulu, jelaskan belakangan”. Padahal, begitu publik merasa ditinggalkan dari proses pengambilan keputusan, kekecewaan mereka bisa meledak menjadi aksi massa.
Dari demo besar yang mengguncang Kabupaten Pati, ada sejumlah pelajaran yang seharusnya menjadi PR serius bagi para kepala daerah di Lampung: Dialog sebelum keputusan
libatkan warga dalam musyawarah atau dengar pendapat sebelum menetapkan kebijakan Apalagi yang langsung menyentuh kantong atau kehidupan sehari-hari.
Bangun legitimasi, jangan biarkan retak. Sekali kepercayaan publik rusak, sulit untuk memperbaikinya hanya dengan pencabutan kebijakan. Konsistensi dan integritas adalah modal utama. Kritik bukan musuh Demonstrasi bisa jadi indikator bahwa warga peduli. Jangan buru-buru menganggapnya ancaman, tapi jadikan masukan untuk perbaikan.
Di Pati, aksi massa berujung bentrok dan gas air mata. Di Lampung, kepala daerah perlu menyiapkan mekanisme pengamanan yang humanis, melibatkan tokoh masyarakat untuk meredam emosi. Di Pati, demo sampai membuat 22 sekolah belajar daring karena situasi tak kondusif. Artinya, satu kebijakan yang keliru bisa mengacaukan banyak sektor lain.
Bro, di era media sosial, satu video jalan rusak atau keluhan warga bisa viral dalam hitungan jam. Amarah publik bisa membesar lebih cepat dari yang dibayangkan. Dan ketika massa sudah turun ke jalan, membalikkan keadaan bukan perkara mudah.
Pelajaran dari Pati bukan hanya tentang pajak, melainkan tentang cara memimpin dengan hati, telinga, dan akal sehat. Para kepala daerah di Lampung punya kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tak hanya pandai berjanji, tapi juga mampu menjaga amanah sebelum rakyat mengetuk pintu dengan suara lantang, “Bro, kami bosan dengan janjimu, sekarang giliranmu yang turun!”
Salam,
Amiruddin Sormin (Wartawan Utama)
Berikan Komentar
Lampung Selatan
815
Humaniora
467
174
13-Aug-2025
267
13-Aug-2025
421
13-Aug-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia