Terlalu seram kalau menyebut Bank Lampung kini dalam posisi hidup segan mati tak mau. Mungkin paling pas, hidup segan mati tak boleh.
Seram, karena tiga tahun terakhir rasio-rasio perbankan Bank Lampung, jarang membuat senyum para pemegang saham yang notabene para kepala daerah se-Provinsi Lampung. Anak kandung Pemerintah Provinsi Lampung ini seolah susah disapih dari kucuran APBD.�
Mari simak laporan keuangan Bank Lampung per Juni 2017, misalnya. Penyaluran kredit hanya naik 1,25% atau Rp3,8 triliun dan laba bersih turun 9,76% atau Rp74,41 miliar. Bisa ditebak kenaikan kredit itu bukan didominasi sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi konsen pembangunan pemerintah, tapi kredit konstruksi para pemborong proyek pemda.
Boleh dibilang dalam tiga tahun terakhir badan usaha milik daerah (BUMD) Pemprov Lampung ini seperti anak ayam kehilangan induk. Ditinggal mundur direktur utamanya karena alasan kesehatan, lalu dipimpin sementara yang menjadi 'sementahun' oleh yang berlatar belakang bukan dari bank operasional.
Aneh bin ajaib memang bank ini. Ketika Gubernur Lampung gegap gempitan dan jor-joran mendukung proyek strategis nasional Jalan Tol Trans Sumatera, kita belum pernah mendengar upaya direksi cawe-cawe, kecuali ketitipan uang ganti rugi pembebasan lahan.
Beda dengan Bank Jabar Banten yang ketika akan dibangun Jalan Tol Padalarang-Cileunyi di era 90-an, getol lobi sana-sini agar ditunjuk menjadi payroll jalan tol. Ngak usah heran kalau kemudian Bank Jabar Banten bergelar 'Tbk' melantai di Bursa Efek Indonesia dan buka di Jalan Radin Inten, Bandar Lampung, yang seharusnya Bank Lampung juga buka di Jalan Asia Afrika, Bandung.
Maka, ketika Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo berencana menaikkan kelas Bank Lampung dari bank umum kelompok usaha (BUKU) I menjadi BUKU II, saya termasuk yang 'ngeri-ngeri sedap' melihatnya. Ngeri karena belum yakin dengan kesiapan sumber daya manusia, tapi sedap karena Gubernur berani bikin gebrakan.
Problem mendasar bank pelat merah ini bukan di modal, tapi fungsi intermediasi yang jalan di tempat. Ini persoalan sumber daya manusia, bukan modal.
Selama bertahun-tahun kita punya pelabuhan laut internasional Pelabuhan Panjang, tapi hingga kini Bank Lampung belum jadi bank devisa yang bisa mendukung ekspor komoditas Lampung ke mancanegara. Apatah nanti jika Bandara Radin Inten II berstatus internasional. Belum lagi,�rencana membuka produk syariah, yang tinggal angan-angan.
Harapan tetap ada. Mudah-mudahan calon direktur utama yang 'dibajak' dari bank BUKU II bisa membawa gerbong Bank Lampung sesuai motonya 'Banknya Masyarakat Lampung'. Bukan 'Banknya Masyarakat Lampung' yang jadi penonton.
Tabik puunnnnn.....
�
Amiruddin Sormin
Wartawan Utama
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4059
Bandar Lampung
2126
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia