Tabik puuunnn…
Belakangan ini, di Lampung ramai perdebatan soal masuknya wartawan luar daerah ke suatu wilayah tanpa berstatus atau terdaftar sebagai wartawan setempat dalam melakukan peliputan. Ini dianggap salah dan harus ditindak.
Sepanjang pengalaman saya lebih dari 25 tahun berprofesi sebagai jurnalis—17 tahun di antaranya di Harian Umum Lampung Post—saya belum pernah bermasalah saat peliputan ke suatu daerah. Karena niat awalnya adalah untuk meliput, bukan untuk meminta uang, apalagi memeras narasumber dengan intimidasi.
Liputan lapangan itu yang membuat saya banyak meraih penghargaan penulisan mulai dari skala daerah, regional, hingga nasional. Salah satunya Saidatul Fitriah Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung atas tulisan Investigasi saya yang membongkar skandal mega korupsi PT BPR Tripanca Setiadana (Bank Tripanca). Ini kasus tindak pidana korupsi BPR terbesar nasional yang pernah dibongkar jurnalis dan hingga kini kasus hukumnya belum kelar.
Turun langsung dan berinteraksi dengan masyarakat merupakan kebahagiaan bagi seorang jurnalis. Meliput itu seharusnya menggunakan lima pancaindra, bukan sekadar bertanya ini-itu via ponsel, yang hanya menghasilkan talk news, alias katanya dan katanya. Padahal, berita itu adalah faktanya, bukan sekadar katanya.
Makanya, para petani singkong di Bandar Sribhawono Lampung Timur, kaget melihat saya blusukan keluar masuk ladang dan lapak singkong di Jalan Ir. Sutami, mewawancarai keluh kesah mereka atas anjloknya harga singkong. Mereka bilang, “Eneng toh wartawan mau wawancara petani di ladang. Biasanya, cuma datang ke kantor desa dan sekolah-sekolah.”
Wartawan seharusnya ikut merasakan atmosfer yang terjadi di lapangan, sehingga hasil liputannya lebih hidup, lebih basah, lebih deskriptif, lebih akurat, dan tentu saja lebih enak dibaca.
Rekan saya di Lampung Post pernah bilang, wartawan itu harusnya yang tipis adalah sol sepatunya karena banyak turun ke lapangan. Bukan tipis pantatnya karena kebanyakan duduk menunggu kiriman berita.
Alhamdulillah saya tak pernah gengsi mewawancarai petani di ladang. Tapi juga tak minder mewawancarai seorang Deputi Bidang Asia Uni Eropa di markasnya Brussels, Belgia, untuk mengonfirmasi kenapa Uni Eropa melarang Garuda Indonesia mendarat di Eropa.
Biasanya, masalah muncul jika niat wartawan dalam meliput melenceng dari tugas jurnalistik yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dari 11 pasal KEJ, yang paling awal meminta wartawan untuk meluruskan niatnya dalam meliput. Bunyinya, “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”
Sebenarnya, di era digital saat ini, batas-batas wilayah tak lagi menjadi penghalang bagi wartawan dalam mengakses, menyebarkan, dan mengolah informasi. Konsep Journalist No Borders bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan yang menandai transformasi besar dalam dunia jurnalistik global.
Perkembangan teknologi komunikasi, internet, dan media sosial telah membuka ruang gerak tanpa batas bagi para jurnalis. Jangankan cuma ke Lampung Barat, seorang wartawan dari Lampung Utara, misalnya, kini bisa meliput isu di Gaza, mewawancarai narasumber di Amerika Serikat, dan menyampaikan laporan kepada audiens dunia—hanya dengan gawai di tangannya. Proses yang dahulu memerlukan biro koresponden dan surat-menyurat panjang kini tergantikan oleh klik, unggah, dan tayang.
Tidak hanya akses informasi yang meluas, tetapi juga distribusi konten yang melintasi negara, zona waktu, dan budaya. Artikel, video, podcast, dan infografis dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Platform digital seperti YouTube, X (Twitter), Substack, hingga media independen berbasis web memungkinkan siapa pun—baik jurnalis profesional maupun warga biasa—menjadi pembawa informasi.
Fenomena ini melahirkan generasi baru wartawan tanpa kantor fisik, tanpa batas yurisdiksi, dan tanpa batas jam kerja. Mereka hadir di mana pun ada isu, menyampaikan kebenaran dengan keberanian dan teknologi sebagai senjata utama.
Namun, era ini juga menuntut tanggung jawab etika yang tinggi. Di tengah derasnya arus informasi, akurasi, verifikasi, dan keberimbangan menjadi tantangan yang harus dijaga. Tanpa batas bukan berarti tanpa aturan. Jurnalisme tetap berpijak pada nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keberpihakan kepada publik.
Peneguhan Journalist No Borders bukan berarti melemahkan peran media konvensional, tapi justru memperkuat nilai kolaborasi dan keterhubungan global dalam menyuarakan isu-isu kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran.
Era digital telah menjadikan dunia sebagai ruang redaksi bersama. Kini, setiap wartawan adalah bagian dari jaringan informasi global, dan setiap informasi yang diproduksi memiliki potensi menjangkau dunia. Wartawan tanpa batas bukan sekadar profesi, tapi panggilan zaman.
Lalu, apakah fungsi wartawan biro atau wartawan daerah masih vital di era digital saat ini? Jawabannya: ya, masih vital—tapi dengan fungsi yang berevolusi karena konteks lokal yang tak tergantikan.
Meski informasi bisa diakses dari mana saja, wartawan biro tetap memiliki kekuatan utama: kedekatan geografis dan sosial dengan wilayah liputannya. Mereka memahami konteks lokal, budaya, bahasa, jaringan narasumber, dan dinamika masyarakat setempat lebih dalam dibanding jurnalis pusat atau jurnalis remote.
Seorang wartawan biro di Tulang Bawang tahu persis dinamika konflik lahan di Rawajitu dibanding wartawan yang hanya membaca rilis dari ibu kota Bandar Lampung.
Wartawan biro tetap menjadi sumber data primer dan akses lapangan. Di tengah banjir informasi digital, wartawan biro berfungsi sebagai penyaring dan penguat fakta lapangan. Mereka menjadi garda terdepan dalam memperoleh keterangan langsung, klarifikasi dari pihak berwenang, serta dokumentasi aktual berupa foto, video, dan suara dari tempat kejadian.
Wartawan biro memungkinkan media pusat tetap cepat dan akurat dalam menyiarkan peristiwa dari daerah-daerah. Tanpa mereka, media nasional akan kesulitan mendapatkan liputan yang otentik dari pelosok, karena tidak semua kejadian bisa terekam media sosial secara lengkap dan benar.
Mereka ibarat perpanjangan indera redaksi pusat. Dalam sistem media yang luas dan terdesentralisasi, wartawan biro berperan memantau dinamika politik, sosial, kriminal, dan ekonomi lokal yang belum tentu muncul di permukaan media daring.
Namun, wartawan biro hari ini tak hanya dituntut melaporkan, tetapi juga mampu mengolah data lokal, menyajikan visual, hingga memahami SEO dan platform multiplatform. Dengan begitu, mereka tetap relevan bahkan di medan yang semakin digital dan cepat berubah.
Fungsi wartawan biro masih vital. Tetapi tidak lagi cukup hanya menjadi ‘tukang kirim berita’. Mereka kini harus menjadi kurator informasi lokal yang cakap teknologi, tajam dalam analisis, dan adaptif dengan ekosistem digital.
Jadi, di tengah era Journalist No Borders, wartawan biro adalah pondasi keakuratan informasi lokal dan tetap menjadi tulang punggung media yang ingin dipercaya publik. Jika ada perdebatan soal hujan atau tidak, wartawan seharusnya keluar dan melihat langsung.
Ini adalah refleksi tajam terhadap etos kerja jurnalisme lapangan, yakni pentingnya verifikasi langsung atau ground truth.Teruslah menulis dan turun ke lapangan, kawan! Tulis keluhan mereka, suarakan yang tak mampu bersuara. (***)
Salam,
Amiruddin Sormin (Wartawan Utama)
Berikan Komentar
Olahraga
405
405
18-Sep-2025
405
18-Sep-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia