Oleh Dr Ir Arief Yahya MSc, Menteri Pariwisata RI�
Celakanya, masalah konektivitas ini tidak bisa ditangani sendiri oleh Kemenpar. Karena itu, perlu sinergi antar kementerian dan lembaga. Industri pariwisata merupakan satu kesatuan ekosistem yang harus diorkestrasi secara harmonis dan sinergis.
Saya ingin membangun pariwisata secara bergotong royong, berbagi peran, dan maju bersama dalam kebersamaan. Ibarat bermain simponi orkestra, kita akan menghasilkan nada yang indah, jika dimainkan bersama-saman dalam satu kesatuan. Kapan celo dan violin digesek, kapan piano dimainkan, kapan klarinet dan saksofon ditiup, semuanya diatur dan diselaraskan oleh sang konductor.
Kajian UNWTO
Kerjasama bilateral antara Jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1998 misalnya, langsung menaikkan inbound tourism hingga 33 persen dan menambahkan seats capacity 10 persen. Lalu kerjasama Korea Selatan dan Amerika Serikat juga sama, menaikkan kunjungan pariwisata sebesar 26.2 persen dan menambah kapasitas angkut hingga 26 persen.
Kedua, pembangunan airport, perluasan terminal, perpanjangan runway, memiliki dampak sangat signifikan terhadap kunjungan turis. Di Jepang misalnya, pembangunan bandara dan infrastruktur pendukungnya telah menaikkan kunjungan turis hingga 50-60 persen dalam 2 tahun pasca-pembangunan, luar biasa. Ini bukan kata Arief Yahya lho, bukan kata saya, tapi data UNWTO yang berbicara. Saya selalu berusaha menghindari subjektifitas kata-kata, biarlah angka dan data yang bicara.
Ambil contoh Bandara Narita International Airport di Tokyo. Sejak pembangunan runway bandara ini pada tahun 2012-2013, kunjungan wisata ke Jepang naik signifikan dari 8 juta wisatawan, naik 13 juta (2014), dan sekarang sudah mencapai 20 juta. Hal yang sama juga terjadi pada pembangunan Kuala Lumpur International Airport-2 tahun 2014, terminal penumpang-2 utama Incheon Seoul Korea tahun 2011, Changi Int Airport. Singapore 2008, pembangunan runway Suvarnabhumi Bangkok dan re-opening Don Mueang 2009 di Thailand.
Ketiga, multiple brand strategy yaitu dengan cerdas melakukan segmentasi ulang dan kemudian meluncurkan sub-brand baru untuk memperluas pasar. Saya contohkan Singapore Airlines. SQ awalnya hanya melayani segmen segmen full services. Namun ia melihat potensi di segmen-segmen lain sangat menjanjikan. Maka kemudian SQ meluncurkan beragam sub-brand baru untuk mengisi segmen-segmen yang tak terlayani. SQ sendiri bermain di full services, jarak jauh (long haul), Silk Air jarak menengah dan full services. Kemudian Tiger Air yang narrow body dan Scoot Air yang wide body, dua-duanya untuk LCC.
Rintisan multiple brand strategy yang dijalnkan SQ ini kemudian diikuti oleh maskapai lain di Asia. Jepang punya All Nippon Airway (full service), Air Japan (chartered airlines), ANA Wings (domestik), Air Do (LCC Domestik), Vanilla Air (LCC International). Juga Thailand yang memiliki Thai Airlines untuk yang full service dan Thai Air serta Nok Air untuk LCC.
Belajar dari Jepang
Sengaja saya utarakan pengalaman berharga dari banyak negara di dalam studi UNWTO agar kita terbuka pikiran dan dari pengalaman tersebut kita bisa banyak belajar. Ingat, mereka bisa mencapai sukses itu setelah melalui exercise dan eksperimen yang panjang dan proses jatuh bangun berdarah-darah. Inilah untungnya benchmarking, yang babak-belur cukup mereka, kita jangan sampai babak-belur. Seperti pernah disinggung dalam CEO Message #17 tentang Indonesia Incorporated, saya selalu percaya dengan resep NIH (not invented here) dari Jack Welch. Kita tak perlu memulai dari nol, karena banyak negara-negara lain sudah sukses melakukannya. Tinggal kita pelajari secara mendalam kasus di negara-negara tersebut, kemudian kita lakukan ATM: Amati, Tiru, dan Modifikasi.
Untuk permasalahan konektivitas udara dan pariwisata, kita bisa belajar dari kisah sukses Jepang. Beberapa tahun terakhir kenaikan wisman ke Jepang itu menakjubkan. Pertumbuhannya bergerak eksponensial nyaris dobel, dari 10 juta turis pada tahun 2013 melonjak hampir 20 juta di 2015 dan kemudian melonjak lagi menjadi 24 juta pada tahun 2016.
Padahal proyeksi awal mereka angka itu baru akan tercapai di tahun 2023 atau sepuluh tahun kemudian. Bagi Jepang ini adalah rekor pencapaian tertinggi untuk pertama kalinya dalam 45 tahun. Pertanyaannya, mengapa bisa melompat dobel seperti itu? Inilah rahasianya. Pertama, Jepang agresif melakukan deregulasi meluncurkan relaxation of visa rule.�
Mereka membebaskan Visa Kunjungan dari originasi China dan ASEAN sejak 2013. Mereka tahu, bahwa sumber pelanggannya berada di negara-negara terdekat dimana travelling cost murah. Selaras dengan apa yang dilakukan Jepang, kita juga sudah membuat kebijakan yang sama yaitu membebaskan Visa Kunjungan dari 15 negara menjadi 169 negara.
Kedua, mereka melakukan depresiasi mata uang Yen tahun 2013. Artinya, mereka menaikkan price competitiveness. Secara cermat harga dibuat murah dan mereka menciptakan affordability agar wisman tertarik berkunjung ke Jepang. Di bidang price competitiveness kita beruntung karena dalam hal ini kita unggul.
Menurut data indeks daya saing pariwisata World Economic Forum posisi kita cukup baik masuk lima besar dunia. Namun kita terus mencoba mendorong price competitiveness ini dengan memperkenalkan konsep more for less tourism.
Ketiga, mendorong berkembangnya LCC untuk mendorong turis lebih banyak datang ke Tokyo. Menurut Japan National Tourism Organization (JNTO), dengan membaiknya konektivitas ini jumlah wisman ke Jepang naik 47 persen tahun 2015.
Harmoni dan Sinergi
Kasus Jepang membuat saya optimis. Kalau Jepang bisa mencapai target dobel kunjungan wisman hanya dalam waktu tiga tahun, kenapa kita tidak bisa. Pengalaman Jepang membuat kita optimistis bisa mencapai target 20 juta wisman tahun 2019 nanti.�
Kuncinya adalah harmoni dan sinergi di antara seluruh unsur pentahelix dalam kerangka Indonesia Incorporated.
Dalam buku Great Spirit, Grand Strategy, saya menulis bahwa untuk menjadi yang terbaik seorang pemimpin harus bisa menciptakan harmoni dan sinergi dalam praktek kepemimpinannya. Apalagi pemimpin di Kemenpar dimana sukses pariwisata ditentukan oleh orkestrasi dari seluruh stakeholders yang ada.�
Karena alasan itu melalui CEO Message ini saya ingin menegaskan bahwa: harmoni dan sinergi bukanlah pilihan, tapi sebuah keharusan. Harmoni dan sinergi adalah survival kita. Harmoni dan sinergi adalah kunci sukses kita. Salam Pesona Indonesia!!
Berikan Komentar
Sebagai salah satu warga Bandar Lampung yang jadi korban...
4143
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia