Itulah sebabnya dari dulu saya tak pernah serius menanggapi kontestasi politik. Sejak awal saya menyeting sedang menonton sebuah pementasan. Menonton para aktor dan skenario yang diatur para kru dengan komando sutradara.
Bagi yang tak sadar sedang menonton pementasan, memang bakal terlarut dalam skenario dan kehebatan akting para aktor. Bagi seorang aktor antagonis, semakin banyak penonton benci padanya justru makin membuatnya bahagia, karena tak percuma dia dibayar mahal untuk memerankan tokoh jahat.
Salah, kalau aktor antagonis kemana-mana malah diajak selfie penggemar dan diminta tanda tangannya. Aktor antagonis itu kemana-mana harus kena maki, kena lempar telur busuk, atau dicubit gemes oleh emak-emak.
Maka, ketika satu persatu nama-nama yang selama ini dilakonkan berada garis tempur yang berbeda, muncul di Istana Negara sebagai calon menteri, saya kembali menyadarkan diri sedang menonton pementasan. Sedang menonton sandiwara, yang sesuai namanya harus penuh misteri dan tak mudah ditebak alur dan ending ceritanya.
Tontonan menarik justru melihat tingkah laku barisan penonton. Entah berapa banyak penonton jadi korban nyawa, harta, hingga jabatan. Mereka ini penonton yang tak sadar sedang menyaksikan drama. Mereka melihatnya nyata, karena terhanyut totalitas akting yang memukau.
Tidak sadar lagi itu akting sungguhan, pakai peran pengganti, atau rekayasa animasi. Itu pula sebabnya, ketika para seteru itu kemudian bergabung jadi satu kabinet, masih banyak yang kecewa. Ada yang menyebut 'Beli satu dapat dua' atau 'Buat apa Pilpres digelar?'
Otak kanan saya pun mencoba menganalisa dari sisi 'khusnuzon'. Ternyata, demokrasi one man one vote yang diusung para reforman itu, cuma menyisakan abu dan debu. Sistem yang misalnya, membuat orang Batak bakal susah jadi Gubernur di Sumatera Utara. Mudah-mudahan ini awal kembali ke filosofi dasar bangsa pengusung gotong-royong. Seperti ajaran leluhur, 'Bulat air di pembuluh, bulat kata di mufakat'.
Harganya memang mahal, triliuan rupiah dana terhambur plus ratusan nyawa petugas Pemilu itu bukan sandiwara. Itu ada pembukuannya.
Saya hanya berharap, semoga ini jadi awal mereposisi bentuk demokrasi yang mau dilakonkan. Apa iya negara demokrasi dengan sistem oposisi pun bakal menjamin tak ada goro-goro. Belum ada yang seberani itu. Prakteknya, jadi oposisi itu justru kriminal dan dikriminalkan.
Terlalu besar taruhannya, hanya untuk sebuah pentas goro-goro yang pada akhirnya berakhir dengan kalimat...'Tuh, kan gw bilang juga apa..."
Berikan Komentar
Saya yakin kekalahan Arinal bersama 10 bupati/walikota di Lampung...
1256
Lampung Selatan
3929
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia