Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Krakatau: Ikon Mahadahsyat yang Masih Terlupakan, Jangan Jadikan Cuma Pembungkus Festival
Lampungpro.co, 27-Jun-2025

Amiruddin Sormin 548

Share

Letusan Krakatau 1883 menjadi salah satu bencana vulkanik terdahsyat sepanjang sejarah. Dentumannya terdengar hingga ribuan kilometer dan debunya mengubah iklim dunia. DOK. LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Ketika gunung meletus bisa mengubah peta, meredupkan matahari, bahkan memicu revolusi industri baru, maka ia bukan sekadar gejala alam biasa. Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 adalah salah satu peristiwa geologi paling dahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.

Namun ironisnya, di negeri tempat gunung itu berada, namanya justru lebih sering hadir sebagai kontroversi menjelang festival. Ketimbang sebagai destinasi permanen kebanggaan nasional.

Semua bermula pada 26-28 Agustus 1883, ketika Krakatau meletus dengan kekuatan luar biasa. Dentumannya terdengar hingga Pulau Rodrigues di Samudera Hindia sejauh lebih dari 4.800 km.

Tsunami setinggi 40 meter meluluhlantakkan pesisir barat Sumatera dan Jawa, menewaskan lebih dari 36.000 jiwa. Dampaknya bukan hanya lokal.

Debu vulkanik Krakatau menembus atmosfer, menyebar ke seluruh dunia dan memicu penurunan suhu global selama dua tahun. Matahari tampak terbenam lebih merah, dan langit malam berpendar warna ungu dan biru karena efek hamburan cahaya.

Peristiwa ini turut memengaruhi budaya visual kala itu. Termasuk lukisan-lukisan seniman Eropa yang mencerminkan atmosfer pascaletusan.

Brussels, ibu kota Belgia, setiap tahun dikunjungi jutaan wisatawan hanya untuk melihat patung kecil seorang bocah laki-laki kencing bernama Manneken Pis. Ia bukan candi, bukan gunung, bukan situs sejarah besar—hanya patung kecil penuh cerita.

Daya tarik Manneken Pis bukan karena bentuknya, tapi karena bagaimana ia dikemas. Itulah esensi pariwisata: membungkus sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Bila boneka kecil bisa menarik dunia, maka Krakatau seharusnya menjadi magnet global bagi pariwisata Lampung.

Ironisnya, nama Krakatau kadang tak muncul sama sekali dalam atraksi utama Festival Krakatau. Tur ke Gunung Anak Krakatau kerap absen dari kalender festival, padahal gunung ini terus tumbuh dan hidup sebagai warisan langsung dari letusan 1883. Ketidakhadiran tur Krakatau justru menjadi sorotan utama ketimbang atraksi yang dihadirkan.

Festival menjadi ajang seremonial tahunan yang kehilangan substansi. Padahal, Krakatau bukan hanya harus “ditampilkan”. Tetapi dihidupkan dalam ingatan, pengalaman, dan imajinasi wisatawan.

Membangun Ikon Wisata Krakatau Sepanjang Tahun

Pemerintah Provinsi Lampung mestinya tak menunggu Festival Krakatau untuk mengangkatnya. Sebaliknya, Festival Krakatau adalah puncak dari kerja ekosistem pariwisata sepanjang tahun.

Krakatau seharusnya bisa dinikmati siapa pun tanpa harus menyeberang ke Selat Sunda. Museum Krakatau, misalnya, bisa menjadi pusat edukasi dan destinasi keluarga. Di dalamnya, miniatur dan diorama bisa menjelaskan kronologi letusan, efek global, dan proses geologi. Teater mini bisa menayangkan simulasi visual letusan 1883 dalam format 3D.

Gedung baru di kawasan Museum Lampung bisa dikhususkan menjadi Museum Krakatau, lengkap dengan dokumentasi ilmiah, benda-benda vulkanik, dan warisan budaya pascaletusan. Narasi Krakatau juga bisa dikaitkan dengan sejarah Lampung, seni lokal, dan bahkan mitigasi bencana.

Sudah saatnya Pemerintah Daerah mengubah paradigma: dari sekadar perayaan tahunan menuju pengembangan ekosistem wisata Krakatau yang berkelanjutan. Pelaku wisata, pelajar, peneliti, dan masyarakat dunia ingin memahami dan mengalami kedahsyatan Krakatau, bukan hanya mendengar namanya saat festival.

Krakatau adalah "patung Mannaken Pis" Lampung—tapi seribu kali lebih besar dan lebih penting. Bila dikelola dengan visi dan imajinasi, ia tak hanya menarik wisatawan, tapi juga menjadi simbol kekuatan pariwisata berbasis pengetahuan, budaya, dan sejarah alam. (****)

Editor Amiruddin Sormin

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved