Gempuran berbagai wacana memindahkan ibu kota pemerintah Republik Indonesia (RI) ke Lampung lewat diskusi, talkshow, dan polemik, membuat saya teringat Jembatan Selat Sunda (JSS). Ketika rencana ini mencuat di era Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, rasanya JSS itu seperti akan dibangun.
Betapa tidak, rancang bangunnya dipampang besar-besaran di berbagai sudut Lampung. Bahkan jadi program unggulan Pemerintah Provinsi Lampung. Sebuah badan usaha milik daerah bahkan dibentuk untuk menopang JSS. Titik ground breakingnya pun sudah ditentukan. Optimistisnya, JSS dibangun tidak memakai dana pemerintah, tapi swasta.
Toh, akhirnya Presiden Joko Widodo memilih kebijakan tol laut dan mempercantik dermaga penyeberangan Bakauheni-Merak dengan dermaga eksekutif. Malah, yang ngak pernah diributkan jadi kenyataan yakni Jalan Tol Trans Sumatera.
JSS pun masuk ranah khayalan, walaupun lamat-lamat masih ada yang grendeng bahwa cita-cita Presiden RI Soekarno itu jadi kenyataan, suata saat kelak. Nah, cita-cita lain Presiden Soekarno yang kembali menggema adalah pemindahan ibu kota RI dari Pulau Jawa.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menargetkan kajiannya rampung tahun ini. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, mengatakan calon ibu kota baru yang dikaji berada di tiga provinsi yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Kalimantan dipilih dengan berbagai faktor seperti bebas bencana dan agak di tengah Indonesia.
Lalu muncul alternatif calon ibu kota RI yakni Lampung. Tentu saja saya bangga Lampung diperhitungkan walau masih berstatus alternatif. Dari berbagai kajian yang saya baca, memang logis dan layak Lampung jadi alternatif.
Tapi logis saja di negeri ini ngak cukup. Banyak hal logis tiba-tiba membuat kita gagal paham. Siapa sangka Setya Novanto, misalnya, menang di prapradilan sehingga statusnya sebagai tersangka gugur dalam kasus KTP eletronik yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Maka, yang dibutuhkan bukan sekedar logika. Tapi langkah-langkah taktis melobi lebih banyak tokoh nasional selain orang Lampung dan Sumatera. Lalu, menjadikannya sebagai 'berita seksi' media-media mainstream nasional dan mendominasi trending topic di berbagai media sosial, agar lebih dominan dari Kalimantan. Jadi, ketika klik Mbah Google, nama Lampung lebih dominan ketimbang Kalimantan.
Ini tantangan bagi semua yang cinta Lampung dan Sumatera. Ini bukan lagi persoalan kajian dan nagih janji. Tapi perang lobi dan strategi meyakinkan pusat. Lebih canggih mana, lobi orang Sumatera atau Kalimantan yang didukung para tokoh Indonesia Timur.
Tabik puuunnnn....
Amiruddin Sormin
Wartawan Utama
Berikan Komentar
Saya yakin kekalahan Arinal bersama 10 bupati/walikota di Lampung...
1629
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia