Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Catatan: Punya 11 Flyover Satu Underpass, Saatnya Bandar Lampung Bangkitkan Transportasi Massal
Lampungpro.co, 07-Apr-2021

Amiruddin Sormin 3839

Share

BRT Trans Bandar Lampung, semasa masih melayani rute Rajabasa-Sukaraja, di Terminal Rajabasa. LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Mendapat warisan 11 jembatan layang (flyover) dan satu underpass, mestinya modal yang kuat bagi Wali Kota Eva Dwiana, membenahi kemacetan Bandar Lampung. Flyover ke-11 yakni di Jalan Sultan Agung, Kedaton, diresmikan Wali Kota Eva Dwiana, Rabu (7/4/2021).

Sesungguhnya, flyover dan underpass itu cuma 'obat turun panas'. Obat sementara agar badan tak meriang sebelum mengobati sumber penyebab panasnya. Dan, kita akan berterima kasih pada 'obat penurun panas' itu, ketika penyakit sesungguhnya berhasil diobati, sehingga badan tidak meriang lagi.

Buktinya, setiap jam-jam sibuk kemacetan masih terjadi di berbagai titik yang selama ini jadi momok. Sebut saja Jalan ZA Pagar Alam, Jalan Teuku Umar, Jalan Radin Intan, Jalan A. Yani, Jalan RA Kartini, Jalan Cik Di Tiro, Jalan Sudirman, Jalan Gajah Mada, Jalan Diponegoro, Jalan Imam Bonjol, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Pangeran Antasari, dan Jalan Ki Maja. Padahal titik-titik kemacetan itu sudah terhubung ke flyover dan underpass.

Jika tak mengobati penyakit sesungguhnya, mau berapa kali lagi minum 'obat turun panas'? Mau berapa lagi flyover dan underpass akan dibangun di Bandar Lampung? Atau punya duitkah membangun jalan layang? 

Penyakit sesungguhnya adalah tidak terkendalinya pertambahan kendaraan pribadi dan matinya transportasi massal di Bandar Lampung. Berbagai upaya dilakukan berbagai kota metropolitan untuk membatasi jumlah kendaraan. Silakan pilih mana yang bagus untuk Bandar Lampung, namun langkah itu hanya akan efektif jika dibarengi pembenahan transportasi massal agar bisa jadi substitusi bagi pemilik kendaraan pribadi.

Ini momen paling pas bagi Wali Kota Eva Dwiana membangkitkan transportasi massal. Apalagi punya modal 11 flyover dan satu underpass. Ditambah lagi, ada kebijakan Program Langit Biru (PLB) yang dicanangkan pemerintah melalui Pertamina pada 14 Maret 2021, dengan menghapus pemakaian Premium di 36 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) se-Bandar Lampung. Program ini untuk memperbaiki kualitas udara.

Enam bulan ke depan, beban masyarakat di bidang transportasi akan bertambah karena harus memakai Pertalite yang tak lagi disubsidi pemerintah seharga Rp7.650 per liter dari biasanya memakai Premium Rp6.450. Beban itu akan tambah berat, jika pandemi Covid-19 belum berakhir.

Matinya transportasi massal di Bandar Lampung, adalah 'hutang sejarah' yang harus dibayar. Menyediakan transportasi murah, aman, nyaman, dan murah adalah urusan wajib non dasar pemerintah kabupaten/kota di bidang perhubungan. 

'Hutang sejarah' itu bermula ketika Pemerintah Kota Bandar Lampung memutuskan tidak lagi mengizinkan Perum Damri beroperasi melayani trayek dalam kota. Ini langkah radikal dan revolusioner, mengingat tak satu pun pemerintah daerah di Tanah Air, termasuk Pemda DKI Jakarta, yang berani 'talak tiga' dengan BUMN tranportasi darat itu. 

Wali Kota Herman HN, memilih Bus Rapid Transit (BRT) Trans Bandar Lampung dengan konsep nonsubsidi pemerintah yang dikelola PT Trans Bandar Lampung selaku operator dan Pemerintah Kota Bandar Lampung, melalui Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung sebagai regulator. Berbekal 40 bus dengan tujuh koridor, BRT mulai diperkenalkan 26 Septermber 2011.

Namun apa daya, satu per satu bus ini rontok karena merugi. Menurut data Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, kini hanya tersisa 10 unit BRT itu pun bukan lagi milik konsorsium, tapi milik perusahaan seperti Puspa Jaya Group. Konsorsium bubar dan PT Trans Bandar Lampung, entah apa nasibnya.

Bisa jadi, banyak yang lupa Perum Damri eksis melayani trayek dalam kota Bandar Lampung, walau selalu merugi setiap tahun. Kerugiannya rata-rata Rp2 miliar per tahun dan kerugian itu ditutup dari keuntungan dari jalur Bandar Lampung-Gambir yang merupakan 'jalur gemuk' Damri se-Indonesia.

Sayang seribu sayang, sejak April 2012, warga Bandar Lampung yang biasa naik Damri di tiga trayek yakni Rajabasa-Tanjungkarang, Tanjungkarang-Telukbetung, dan Tanjungkarang-Korpri, tak lagi dapat menikmati subsidi dari keuntungan Damri itu. Kini, BRT sekarat, Damri pun hilang. 

Padahal, Damri itu membawa misi public service obligation BUMN. Artinya, rugi juga masih disoriin alias dimaaafkan. Memang, Kementerian Perhubungan masih membantu tranportasi massal di Bandar Lampung lewat bus bantuan seperti yang dikelola PT Trans Lampung, namun karena merugi, satu per satu bus ini pun jadi nisan.

Dalam kondisi ekonomi Lampung yang mengalami kontraksi (penurunan) sebesar 2,26%, mestinya Pemkot Bandar Lampung tak usah gengsi 'rujuk' dengan Damri. Hidupkan lagi tiga trayek Damri yang pernah ditutup Pemkot sebagai langkah awal. Lalu benahi satu persatu jalur transportasi massal, termasuk merevitalisasi halte dan fasilitas lainnya.

Mengharapkan angkutan kota (angkot) juga bisa jadi alternatif, namun harus selektif memilih jalurnya. Pasalnya, kini di Bandar Lampung hanya tersia 78 angkot uzur dari 11 rute yang habis izin trayeknya. 

Merujuk data Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, dari 78 angkot itu hanya 67 yang masih beroperasi. Pemkot tinggal menunggu habis masa izin trayek angkot karena maksimal umur kendaraan 12 tahun dan tidak boleh diperpanjang kembali. 

Mengaktifkan transportasi massal memang butuh energi tinggi dan ekstra. Bahkan, siap tidak populer. Tapi, hutang tetap hutang dan harus dibayar ke warga Bandar Lampung yang butuh transportasi massal. (AMIRUDDIN SORMIN-JURNALIS)

 

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
Lampung Dipimpin Mirza-Jihan: Selamat Bertugas, "Mulai dari...

Dukungan dan legacy yang besar, juga mengandung makna tanggung...

17596


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved