Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Ironi Surplus Cabai Lampung, Petani Terjebak Perjudian Harga, HKTI Duga Ada Mafia
Lampungpro.co, 12-Aug-2020

Amiruddin Sormin 1755

Share

Dua warga Trimulyo, Tegineneng, Pesawaran saat mengemas cabai merah dan cabai hijau ke karung, Kamis (6/8/2020). LAMPUNGPRO.CO/AMIRUDDIN SORMIN

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Surplus produksi cabai di Provinsi Lampung mulai menuai badai dalam setahun terakhir. Petani mulai galau setelah menanam cabai, apakah modalnya kembali atau tidak. Pasalnya, dalam beberapa musim panen, harga menukik turun tajam. Bahkan, jauh lebih rendah dari perkiraan.

Penelusuran Lampungpro.co di sentra agribisnis cabai, Desa Trimulyo, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran, Kamis (6/8/2020), menemukan sejumlah ironi di balik angka-angka surplus itu. Kebanggan petani atas komoditas cabai mulai luntur. 

Kenapa mereka masih menamam cabai? "Yah, dah terlanjur. Sebenarnya lahan cabai sudah mulai menyusut. Namun petani tetap berharap harga membaik. Memang bertani cabai ini unik, kalau untung ya lumayan. Kalau rugi bisa nyungsep," kata Imam Royan, petani cabai sekaligus Ketua Kelompok Tani Anggrek 3 Desa Trimulyo, kepada Lampungpro.co.

Petani kini menempatkan cabai itu sebagai komoditas perjudian. "Menang untung, kalah yo...buntung. Dah kadung nanam cabai," kata ujar Imam Royan dengan nada lirih.

Hasil panen cabai besar produksi petani di sini, seperti umumnya petani cabai di Lampung, dibawa pengepul ke berbagai pasar di Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Riau, Riau Kepulauan, hingga ke Sumatera Utara. Menurut Subroto, yang pernah menjadi pedagang cabai antar provinsi di Sumatera, mata rantai perdagangan cabai cukup panjang.

"Dari petani, cabai dibawa pengepul ke bosnya. Lha, bosnya itu ke bos lagi, sehingga bisa lima sampai enam rantai. Bahkan ada bos yang modal dengkul," Subroto.

Akibat panjangnya mata rantai perdagangan itu, tak tahu siapa yang menentukan harga. Dalam waktu sekejap harga tiba-tiba bisa berubah, hanya bermodal 'katanya'. Terlebih ada informasi cabai dari Jawa membanjiri pasar Lampung. "Diinfokan dua ton saja cabai Jawa masuk ke Lampung, harga bisa nyungsep," kata Subroto.

Para petani saat memetik cabai di Desa Trimulyo, Tegineneng, Kamis (6/8/2020). LAMPUNGPRO.CO/AMIRUDDIN SORMIN

Adakah tangan-tangan mafia pangan bermain di perdagangan cabai? Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Abdul Hamid, termasuk yang tidak percaya ada mafia cabai. "Perlu kita ketahui secara bahwa tanaman cabai adalah perishable mudah rusak. Kondisi petani cabai selalu berjudi dalam bertanam, tidak melihat kebutuhan pasardan jumlah yang ditanam," kata Abdul Hamid.

Dia menyebutkan informasi ini telah disiapkan oleh Kementerian Pertanian melalui Dirjen Hortikultura. Namun belum tersampaikan atau bisa juga petani tidak mau mendengar. "Petani belum melakukan efisiensi terhadap budidayanya, disebabkan pengetahuan budidaya agronomi hanya tradisional belum mempertimbangkan kondisi tanah dan tanaman," kata dia.

Selain itu petani belajar bertani di antara mereka dengan budidaya seperti diajarkan orang tua mereka 10-15 tahun sebelumnya. Padahal iklim dan kesehatan tanah berubah.

BACA JUGA: Ironi Petani Cabai Lampung, Produksi Surplus, Harga tak Menentu Pendapatan Minus

Terkait harga, Abdul Hamid menilai harga saat ini adalah murni overstok dan daya beli yang rendah. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan penyembuhan ekonomi petani cabai karena saat ini petani cabai terdampak kritis. 

"Petani hutang ke bank tidak terbayar. Mau tanam tak ada modal. Saat ini momen untuk melakukan pelatihan efisiensi tidak hanya petani cabai tapi hortikultura secara umum. Lakukan dalam kelompok yang masif dalam perencanaan tanam, pelatiha SDM petani melalui pendampingan dan teknologi," kata dia.

Namun Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, punya pendapat beda. Menurut Mirza, sapaan akrabnya, seringnya harga cabai anjlok diduga ada permainan oknum pedagang antar pulau. "Kami sering dapat laporan, saat mau panen raya di Lampung, cabai di dari Jawa membanjiri Lampung, sehingga harga di petani anjlok," kata Mirza.

Menurut Mirza yang juga Anggota DPRD Provinsi Lampung itu, harus ada payung hukum yang mampu melindungi petani dari permainan harga. Selaku anggota legislatif, Mirza bahkan ingin mengajukan hak inisitif untuk payung hukum tersebut. "Tidak bisa semua diserahkan ke mekanisme pasar. Kalau itu terjadi, selamanya petani tidak akan berdaya menghadapi permainan harga para mafia ini," kata Mirza.

Sebagai Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Provinsi Lampung, Mirza dan kawan-kawan tengah mengumpulkan berbagai data dan riset ke sejumlah daerah agar bisa menyusun draf peraturan daerah yang melindungi harga jual petani, seperti petani cabai. "Kami akan menggandeng lembaga terkait seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki apakah benar ada mafia pangan," kata Mirza yang pernah menjabat Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Provinsi Lampung itu. (AMIRUDDIN SORMIN/PRO1)

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya
Lampung Dipimpin Mirza-Jihan: Selamat Bertugas, "Mulai dari...

Dukungan dan legacy yang besar, juga mengandung makna tanggung...

23071


Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved