Tabik puuunnn.
Di banyak ruang praktik dokter dan rumah sakit di Lampung, pola yang berulang terus terjadi. Pasien datang, diperiksa sebentar, lalu pulang membawa beberapa lembar resep farmasi. Tidak ada tawaran terapi alternatif, tidak tersedia pendekatan komplementer, dan nyaris tak ada ruang dialog mengenai pilihan lain di luar obat kimia.
Model pelayanan seperti ini tak hanya menunjukkan keterbatasan pendekatan, tetapi juga memperlihatkan betapa tertutupnya sistem medis lokal terhadap inovasi dan perkembangan pengobatan berbasis bukti yang lebih holistik.
Padahal, di pusat-pusat layanan kesehatan nasional seperti RSCM, RS Kanker Dharmais, dan RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta, pendekatan pengobatan telah berkembang melampaui resep kimia semata. Layanan akupunktur medik dan terapi herbal telah masuk ke dalam sistem medis resmi dan menjadi bagian dari terapi paliatif, rehabilitatif, hingga pendukung penyembuhan penyakit kronis.
Rumah sakit tersebut juga menyediakan layanan yang didasarkan pada diagnosis konvensional, menggunakan sistem internasional seperti ICD dan didukung clinical pathway yang ketat. Bahkan dalam beberapa kasus seperti onkologi, infertilitas, dan nyeri kronis, terapi non-farmasi digunakan sebagai pelengkap utama, bukan hanya pelengkap tambahan.
Di luar itu, beberapa wilayah lain seperti Purwakarta telah memiliki rumah sakit berbasis herbal, dan klinik integratif di Tangerang menggabungkan layanan kandungan dengan terapi akupunktur untuk pasien program kehamilan. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi terapi alternatif bukan lagi gagasan eksperimental, melainkan praktik layanan nyata yang teruji dan dijalankan oleh institusi resmi.
Sayangnya, pemandangan serupa belum ditemukan di Lampung. Fasilitas kesehatan utama seperti RSUD Abdul Moeloek, RS Urip Sumoharjo, maupun rumah sakit swasta besar, belum menunjukkan tanda-tanda keterbukaan terhadap pengobatan integratif.
Masyarakat yang mengalami penyakit kronis, gangguan hormonal, atau keluhan nyeri jangka panjang masih terbatas pada satu jalur terapi: farmasi. Tidak tersedia layanan akupunktur medis resmi, tidak ada jalur pengobatan herbal berbasis klinis, dan hampir tidak ditemukan kolaborasi antar-disiplin untuk mendukung pemulihan menyeluruh pasien.
Bahkan dalam konteks pelayanan publik, kritik terhadap rumah sakit di Lampung sejauh ini masih berfokus pada ketimpangan pasien umum dan BPJS atau soal fasilitas fisik. Padahal isu yang lebih fundamental—seperti sempitnya pilihan terapi bagi pasien—jarang disentuh.
Model layanan kesehatan seperti ini berpotensi membentuk sistem ketergantungan struktural terhadap obat kimia. Tanpa disadari, rumah sakit dan praktik dokter menjadi semacam distributor tidak langsung dari industri farmasi, di mana resep menjadi jawaban tunggal atas semua keluhan medis.
Kondisi ini bukan hanya membatasi hak pasien untuk memilih terapi terbaik, tetapi juga berpotensi memperlambat proses penyembuhan dalam jangka panjang. Pengobatan farmasi memang penting dan seringkali menyelamatkan, tetapi ketika digunakan secara tunggal dan tanpa alternatif, risikonya bisa jauh lebih besar: efek samping, biaya berulang, serta hilangnya peluang penyembuhan dari pendekatan yang lebih tepat guna.
Mengacu pada apa yang sudah dijalankan oleh rumah sakit rujukan nasional dan daerah lain, Lampung sebenarnya memiliki peluang besar untuk melakukan reformasi layanan. Provinsi ini memiliki tenaga medis yang mumpuni, sumber daya pendidikan kesehatan, serta kebutuhan masyarakat yang besar terhadap pendekatan penyembuhan yang lebih manusiawi.
Beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh antara lain membuka layanan akupunktur medik di RSUD tipe A atau B dengan dukungan tenaga profesional tersertifikasi. Menyediakan unit klinik herbal dengan pendekatan berbasis evidence, bukan semata tradisional.
Mengirim dokter umum dari daerah untuk mengikuti pendidikan spesialisasi akupunktur atau integratif di institusi resmi. Mendorong kolaborasi antara rumah sakit Lampung dengan institusi seperti RSCM dan RS Dharmais. Menyusun regulasi daerah agar terapi non-farmasi bisa dimasukkan dalam skema pembiayaan BPJS.
Jika rumah sakit nasional sudah mampu membuka ruang bagi terapi komplementer seperti akupunktur dan herbal, maka sangat ironis jika Lampung tetap terjebak dalam satu-satunya jawaban medis berupa resep obat. Ini bukan tentang menolak obat, tapi tentang memberi ruang bagi pilihan.
Tanpa alternatif pengobatan yang beragam, pasien di Lampung akan terus menjadi konsumen pasif dari sistem yang tak memberdayakan. Padahal, kesehatan semestinya bukan hanya soal penyakit yang diredam, tetapi juga kualitas hidup yang dipulihkan secara utuh.
Salam,
Amiruddin Sormin (Wartawan Utama)
Berikan Komentar
Bandar Lampung
648
Lampung Selatan
508
237
06-Aug-2025
223
06-Aug-2025
226
06-Aug-2025
Universitas Lampung
Universitas Malahayati
Politeknik Negeri Lampung
IIB Darmajaya
Universitas Teknokrat Indonesia
Umitra Lampung
RSUDAM Provinsi Lampung
TDM Honda Lampung
Bank Lampung
DPRD Provinsi Lampung
DPRD Kota Bandar Lampung
DPRD Kota Metro
Pemrov Lampung
Pemkot Bandar Lampung
Pemkab Lampung Selatan
Pemkab Pesisir Barat
Pemkab Pesawaran
Pemkab Lampung Tengah
Pemkot Kota Metro
Pemkab Mesuji
Pemkab Tulangbawang Barat
Suaradotcom
Klikpositif
Siberindo
Goindonesia