Geser ke atas
News Ekbis Sosok Halal Pelesir Olahraga Nasional Daerah Otomotif

Kanal

Bandar Lampung 343 Tahun; Usia Tua, Pengelolaan Sampah Masih Zaman Kuno
Lampungpro.co, 15-Jun-2025

Amiruddin Sormin 1097

Share

Ilustrasi sampah. DOK LAMPUNGPRO.CO

BANDAR LAMPUNG (Lampungpro.co): Memasuki usia ke-343 tahun pada 17 Juni 2025, Bandar Lampung dihadapkan pada ironi besar: kota yang semestinya menjadi contoh kemajuan di Sumatera justru masih terjebak dalam pola pengelolaan sampah yang kuno dan bermasalah. Predikat kota terkotor kategori kota besar pernah disematkan pada Bandar Lampung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019. Saat tak satupun penghargaan Adipura diterima karena pengelolaan TPA Bakung dan TPS yang buruk.

Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bandar Lampung mencatat, volume sampah harian mencapai 800–1.000 ton per hari, terutama saat Ramadan atau musim libur panjang. Angka tahunan menyentuh 317.561 ton pada 2024. Namun alih-alih modernisasi sistem, kota ini masih memakai pola lama: angkut-buang ke TPA Bakung.

Masalah terbesar terletak di TPA Bakung, tempat pembuangan akhir yang sudah kelebihan kapasitas dan sempat disegel oleh KLHK pada Desember 2024 karena tidak memenuhi standar pengelolaan. Sampah masih dibuang tanpa proses pemilahan atau daur ulang, menghasilkan lindi berbahaya dan mencemari lingkungan sekitar.

Kondisi di lapangan menunjukkan TPS (Tempat Penampungan Sementara) banyak yang penuh, sampah menumpuk, dan kerap menimbulkan bau menyengat hingga ke permukiman. Armada truk pengangkut sebagian besar berusia tua dan rentan mogok, meski pemerintah menambah beberapa unit pada 2024. Namun, jumlah dan teknologi armada belum memadai untuk menghadapi timbulan sampah harian yang terus meningkat.

Masalah terbesar terletak di TPA Bakung, tempat pembuangan akhir yang sudah kelebihan kapasitas. Bahkan sempat disegel oleh KLHK pada Desember 2024 karena tidak memenuhi standar pengelolaan. Sampah masih dibuang tanpa proses pemilahan atau daur ulang, menghasilkan lindi berbahaya dan mencemari lingkungan sekitar.

Kondisi di lapangan menunjukkan TPS (Tempat Penampungan Sementara) banyak yang penuh, sampah menumpuk, dan kerap menimbulkan bau menyengat hingga ke permukiman. Armada truk pengangkut sebagian besar berusia tua dan rentan mogok, meski pemerintah menambah beberapa unit pada 2024. Namun, jumlah dan teknologi armada belum memadai untuk menghadapi timbulan sampah harian yang terus meningkat.

Belajar dari Banyumas dan Jombang

Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menerapkan sistem andalan: Zero Waste Community, TPST 3R, pengelolaan berbasis masyarakat. TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) berbasis desa ersebar di 27 lokasi

Skema pengelolaan, sampah rumah tangga dipilah sejak dari sumber (organik dan anorganik) Sampah organik diolah jadi kompos atau maggot

Sampah anorganik masuk bank sampah atau dijual ulang. TPA tidak lagi jadi pusat sampah utama → tinggal sisa residu sekitar 10–15%. Sehingga, volume sampah ke TPA tinggal kurang dari 100 ton/hari

Dinas LH hanya bertugas mengelola sisa, sisanya ditangani masyarakat. Pemerintah memberi insentif kelompok pengelola, mengurangi biaya APBD

Sedangkan Kabupaten Jombang, Jawa Timur, strategi unggulan: bank sampah desa, edukasi keluarga, dan teknologi RD. Skema pengelolaan 60% desa aktif memilah sampah di sumber

Tersedia fasilitas pengomposan masal dan rumah daur ulangm Pengelolaan anorganik skala lokal ditampung ke bank induk kabupaten

Inovasi teknologi: berupa pembangunan fasilitas RDF mini (bahan bakar dari sampah). Pemanfaatan kompos untuk pertanian desam

Hasilnya, penghematan biaya pengangkutan sampah lintas kecamatan. Penurunan volume ke TPA hingga 70% Jombang meraih penghargaan Adipura 2023 sebagai kabupaten dengan sistem hijau berbasis partisipasi warga

Dua kota di Jawa, Banyumas Jawa Tengah dan Jombang Jawa Timur menunjukkan bagaimana sistem pengelolaan sampah yang modern dan terintegrasi bisa menjadi solusi: Di Banyumas ada zero waste village, TPS 3R, bank sampah digital. Sehingga volume ke TPA tinggal 15%.

Belajar dari dua daerah itu, Bandar Lampung butuh terobosan nyata, bukan tambal sulam. Berikut solusi yang disarankan:

1.Modernisasi TPA Bakung, dengan sistem sanitary landfill atau fasilitas RDF (Refuse Derived Fuel)

2. Penguatan pemilahan di tingkat rumah tangga, melalui insentif bank sampah

3. Regenerasi armada pengangkut sampah, khususnya dengan kendaraan ramah lingkungan

4. Edukasi publik berkelanjutan, melibatkan RT, RW, sekolah, dan komunitas

Di usia 343 tahun, Bandar Lampung semestinya jadi pelopor kota berwawasan lingkungan di Sumatera. Tapi kenyataan berkata lain: dari status kota terkotor 2019 hingga penyegelan TPA pada 2024, semua menegaskan bahwa tata kelola sampah kita masih jauh dari kata layak. Momentum ulang tahun ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk keluar dari jeratan sistem lama menuju tata kelola sampah yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. (***)

#

Laporan: Tim Lampungpro.co

Berikan Komentar

Kopi Pahit

Artikel Lainnya

Copyright ©2024 lampungproco. All rights reserved